Sabtu, 28 Februari 2015

Setiap Waktu adalah Waktu Belajar

“Belajar”, itulah jawaban pelatih sukses dunia Anthony Robbins ketika ditanya mengenai rahasia kesuksesan dirinya dari seorang pembersih toilet berpenghasilan puluhan dolar hingga menjadi seorang multimiliarder.

Mendengar kata belajar, pastilah membawa ingatan kita ke masa-masa sekolah, hampir tiada hari tanpa membaca buku, menyimak guru mengajar dan mengerjakan tugas. Semua itu serasa tidak pernah ada habisnya.

Berkebalikan dengan sahabat-sahabat yang meninggalkan buku selepas sekolah, saya mulai membaca setelah tidak menyandang status murid. Tanpa ingin menyombongkan diri, dulu dimasa sekolah saya adalah murid yang paling rajin membolos, jawara dalam tidak mengerjakan PR dan selalu menduduki peringkat 3 besar dari bawah.

Sadar tertinggal jauh dari teman-teman yang lain, disertai keinginan kuat untuk bisa berguna bagi dunia ini, mata saya mulai terbuka. Pentingnya arti belajar tertanam dalam di benak ini dan diwaktu itulah perubahan seketika terjadi. Saya mulai belajar dua kali lebih keras dan berpikir dua kali lebih kuat. Dan saat ini tanpa menggurui pembaca, izinkan saya berbagi tulisan mengenai “belajar”.
Bukan belajar seperti membaca dan mengetahui teori saja. Menurut Anthony Robbins, belajar itu seperti mengendarai mobil. Jika kita mengetahui dimana pedal gas, rem dan kopling serta cara memindahkan gigi, itu berarti kita belum belajar. Belajar artinya melakukan tindakan baru, sebuah tindakan yang konsisten dan berkesinambungan sehingga yang kita pelajari menjadi sebuah kebiasaan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Konfusius, “To know but not to do is not yet to know,” mengetahui, tetapi tidak melakukan sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan atau mengambil tindakan dari apa yang diketahui itulah inti dari belajar. Dan jika tindakan ini diulang dan diulang terus maka keterampilan akan muncul. Dengan keterampilan inilah keunggulan seseorang diakui orang lain. Pandangan serupa juga diungkap oleh filsuf terkenal Yunani Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang… maka keunggulan bukanlah suatu perbuatan melainkan hasil dari kebisaaan.” Seseorang dapat meraih juara dalam turnamen bulu tangkis karena dia belajar terus. Kita semua pada awalnya sama, kita tidak punya kemampuan apa-apa. Kita belajar berjalan, belajar berbicara dan belajar bagaimana untuk makan dengan sendok dan garpu. Apa pun yang kita mampu lakukan saat ini semuanya akan diawali dengan belajar, bukan?
Sikap Mental

Jika ditanya, pada masa apakah manusia belajar paling banyak? Pada saat dewasa, remaja, atau pada saat kita kanak-kanak? Ya, jawabannya pastilah saat anak-anak. Sewaktu masih anak-anak, manusia belajar lebih banyak dibandingkan masa manapun dalam pertumbuhannya. Sampai-sampai Robert Fulghum, seorang pendeta Unitarian menulis buku All I really need to know I learnerd in kindergarten (Semua yang perlu saya ketahui telah saya pelajari di taman kanak-kanak).
Anak-anak mempunyai sikap mental yang luar biasa. Mereka melihat segala seuatu dengan apa adanya. Anak-anak mempertanyakan segala sesuatunya, tidak ada kata “tidak mungkin” dalam benaknya. Fantasi mereka jauh melampaui logikanya. Dari sisi inilah kita sebaiknya belajar pada anak-anak, tentang belajar itu sendiri.

Paling tidak ada tiga sikap mental dari anak-anak yang harus kita lakukan. Secara sederhana, sikap ini bisa dianalogikan seperti menuang air dari botol ke sebuah gelas. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah gelas agar dapat terisi air.

Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang terbukalah air dapat masuk. Hanya dengan berpikiran terbuka (open mind) suatu ilmu dapat mengalir ke dalam diri ini. Seseorang dapat bersikap terbuka karena memiliki keingintahuan lebih banyak. Dalam bahasa lain, kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya seorang bocah ini sebagai rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu elemen yang utama dalam menimba ilmu.

Bahkan, manusia terjenius sepanjang sejarah, Leonardo da Vinci, menempatkan curiosita atau rasa ingin tahu ini sebagai prinsip pertama dari tujuh prinsip da vinci, seperti yang ditulis oleh Michael J. Gelb dalam buku apiknya menjadi jenius seperti Leonardo da Vinci. Hampir serupa dengan Leonardo da Vinci, Albert Einstein pernah berkata jika dia bukanlah orang yang punya bakat khusus, melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat. Terbuka, terutama terhadap sesuatu yang baru dan rasa ingin tahu yang besar, adalah syarat pertama.

Yang kedua adalah kosong. “kosongkan gelasmu”, sebuah istilah popular yang mungkin sering kita dengar. Sesuatu yang penuh tidak akan dapat menampung apa-apa. Hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu yang baru. Pikiran yang penuh dengan persepsi yang ada sebelumnya, walau tidak selalu, sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Berbeda dengan anak kecil yang melihat apa adanya, jauh dari sikap menghakimi. Seperti inilah sikap mental yang harus kita miliki jika ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam tentang sesuatu yang baru.

Yang ketiga, dan tak kalah penting, gelas tersebut haruslah lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimanapun terbuka dan kosongnya gelas, tetap tidak akan terisi jika posisi gelas itu lebih tinggi daripada botol yang akan mengisinya. Bersikap rendah hati, menyadari bahwa masih banyak kekurangan adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar. Anak-anak menyadari jika dirinya jauh dari pengalaman, anak-anak selalu menganggap orang tua lebih tahu dari dirinya.
Teringat saya pada seseorang berjiwa jernih, Lao Tze, seorang filsuf yang juga pencipta ajaran Taoisme. Dia pernah berkata, “Mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah awal dari kebijaksanaan.” Jika kita merasa sudah tahu semuanya, kita akan merasa cukup. Ini bisa diibaratkan buah yang sudah matang, dan kita semua tahu buah yang matang tak lama akan menjadi busuk. Merasa diri kurang, merasa kita masih jauh dari pencapaian membuat kita terus belajar.

Guru

Di atas kita berbicara tentang “gelas” (murid), lalu bagaimana dengan “botol”nya, yaitu guru. Mengapa saya menyebut dan menempatkan sosok guru sebagai sesuatu yang agung? Dalam bahasa sansekerta, Gu artinya kegelapan dan Ru artinya menghilangkan. Jadi guru adalah dia yang menghilangkan kegelapan. Seseorang yang membawa cahaya, seseorang yang membawa terang pada hidup kita.

Siapakah dia? Apakah dia bapak dan ibu guru yang ada di sekolah? Ya, tetapi bukan itu saja. Orang tua, kakak? Ya, tetapi itu baru sebagian kecil. Lalu siapa lagi?

Setiap orang, ya setiap orang adalah guru kita. Mungkin muncul di benak pembaca, apakah perampok, pencuri dan tukang tipu adalah guru kita? Saya akan langsung menjawabnya dengan YA. Karena merekalah sebenarnya yang mengajari kita lebih banyak tentang arti sebuah kejujuran dan keadilan. Kahlil Gibran, seorang penyair besar dari Lebanon, dengan indahnya menulis:
“Aku belajar diam dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran dan kebaikan dari yang jahat. Namun anehnya, aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada guru-guruku ini.”
Apa yang ditulis oleh Gibran di atas buat saya adalah sebuah resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang menyulitkan” yang sebenarnya adalah guru-guru kita.

Sejenak melayang pikiran saya pada 2.000 tahun yang lalu, mungkin inilah yang ingin Yesus Kristus sampaikan dengan berkata, “Kasihilah musuhmu.” Seolah-olah kita diajak untuk tidak melihat musuh sebagai sesuatu yang harus dihindari. Musuh mengajarkan kita begitu banyak tentang kehidupan. Musuh adalah guru sejati kita, untuk itulah kita harus mengasihinya.

Dari sudut pandang yang serupa secara praktis dalam sebuah subjudul Richard Carlson menulis:
“Anggaplah setiap orang yang berjalan di bumi ini sudah tercerahkan kecuali Anda sendiri.” Apa yang ingin dikatakan oleh Richard dalam buku pertama dari seri bukunya yang berjudul Don’t sweat the small stuff (Jangan meributkan masalah-masalah kecil) adalah jika anda bertemu dengan orang-orang yang membuat hati anda mendidih, jangan marah, tetapi ubahlah cara berpikir anda bahwa orang di depan anda adalah orang yang telah tercerahkan. Dia dikirim kepada anda oleh pencipta supaya anda belajar untuk bersabar. Bukankah orang-orang yang menyulitkan kita adalah orang-orang yang membuat kita pintar? Siddharta “Sang Buddha” Gautama juga pernah berkata, “Pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat diri ini sulit.”

Jika orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang kaku mengajarkan kita pentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita besarnya arti kejujuran, dan mereka yang berselingkuh mengajarkan arti sebuah kesetiaan, maka diakhir tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat-ingat orang-orang yang selama ini kita benci. Orang yang selama ini kita hindari dan ingin membalas perbuatannya yang tidak menyenangkan kepada kita. Setelah mengingatnya, kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?

Jika kita menemukan pelajaran yang berharga dalam hidup ini dari sahabat-sahabat tersebut, itu berarti kita telah belajar sesuatu. Dan ucapkan terima kasih karena mereka adalah guru kita, karena mereka kita menjadi lebih bijak.

Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran.


#gobindvashdev – happinessinside

Tidak ada komentar:

Posting Komentar