“Belajar”, itulah jawaban pelatih sukses dunia Anthony
Robbins ketika ditanya mengenai rahasia kesuksesan dirinya dari seorang
pembersih toilet berpenghasilan puluhan dolar hingga menjadi seorang
multimiliarder.
Mendengar kata belajar, pastilah membawa ingatan kita ke
masa-masa sekolah, hampir tiada hari tanpa membaca buku, menyimak guru mengajar
dan mengerjakan tugas. Semua itu serasa tidak pernah ada habisnya.
Berkebalikan dengan sahabat-sahabat yang meninggalkan buku
selepas sekolah, saya mulai membaca setelah tidak menyandang status murid. Tanpa
ingin menyombongkan diri, dulu dimasa sekolah saya adalah murid yang paling
rajin membolos, jawara dalam tidak mengerjakan PR dan selalu menduduki
peringkat 3 besar dari bawah.
Sadar tertinggal jauh dari teman-teman yang lain, disertai
keinginan kuat untuk bisa berguna bagi dunia ini, mata saya mulai terbuka. Pentingnya
arti belajar tertanam dalam di benak ini dan diwaktu itulah perubahan seketika
terjadi. Saya mulai belajar dua kali lebih keras dan berpikir dua kali lebih
kuat. Dan saat ini tanpa menggurui pembaca, izinkan saya berbagi tulisan
mengenai “belajar”.
Bukan belajar seperti membaca dan mengetahui teori saja. Menurut
Anthony Robbins, belajar itu seperti mengendarai mobil. Jika kita mengetahui
dimana pedal gas, rem dan kopling serta cara memindahkan gigi, itu berarti kita
belum belajar. Belajar artinya melakukan tindakan baru, sebuah tindakan yang
konsisten dan berkesinambungan sehingga yang kita pelajari menjadi sebuah kebiasaan.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Konfusius, “To know but not to do is not yet to know,”
mengetahui, tetapi tidak melakukan sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan
atau mengambil tindakan dari apa yang diketahui itulah inti dari belajar. Dan jika
tindakan ini diulang dan diulang terus maka keterampilan akan muncul. Dengan keterampilan
inilah keunggulan seseorang diakui orang lain. Pandangan serupa juga diungkap
oleh filsuf terkenal Yunani Aristoteles, “Kita
adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang… maka keunggulan bukanlah suatu
perbuatan melainkan hasil dari kebisaaan.” Seseorang dapat meraih juara
dalam turnamen bulu tangkis karena dia belajar terus. Kita semua pada awalnya
sama, kita tidak punya kemampuan apa-apa. Kita belajar berjalan, belajar
berbicara dan belajar bagaimana untuk makan dengan sendok dan garpu. Apa pun
yang kita mampu lakukan saat ini semuanya akan diawali dengan belajar, bukan?
Sikap Mental
Jika ditanya, pada masa apakah manusia belajar paling
banyak? Pada saat dewasa, remaja, atau pada saat kita kanak-kanak? Ya,
jawabannya pastilah saat anak-anak. Sewaktu masih anak-anak, manusia belajar
lebih banyak dibandingkan masa manapun dalam pertumbuhannya. Sampai-sampai
Robert Fulghum, seorang pendeta Unitarian menulis buku All I really need to know I learnerd in kindergarten (Semua yang
perlu saya ketahui telah saya pelajari di taman kanak-kanak).
Anak-anak mempunyai sikap mental yang luar biasa. Mereka melihat
segala seuatu dengan apa adanya. Anak-anak mempertanyakan segala sesuatunya,
tidak ada kata “tidak mungkin” dalam benaknya. Fantasi mereka jauh melampaui
logikanya. Dari sisi inilah kita sebaiknya belajar pada anak-anak, tentang
belajar itu sendiri.
Paling tidak ada tiga sikap mental dari anak-anak yang harus
kita lakukan. Secara sederhana, sikap ini bisa dianalogikan seperti menuang air
dari botol ke sebuah gelas. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah
gelas agar dapat terisi air.
Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang
terbukalah air dapat masuk. Hanya dengan berpikiran terbuka (open mind) suatu ilmu dapat mengalir ke
dalam diri ini. Seseorang dapat bersikap terbuka karena memiliki keingintahuan
lebih banyak. Dalam bahasa lain, kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya
seorang bocah ini sebagai rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu
elemen yang utama dalam menimba ilmu.
Bahkan, manusia terjenius sepanjang sejarah, Leonardo da
Vinci, menempatkan curiosita atau rasa
ingin tahu ini sebagai prinsip pertama dari tujuh prinsip da vinci, seperti
yang ditulis oleh Michael J. Gelb dalam buku apiknya menjadi jenius seperti Leonardo da Vinci. Hampir serupa dengan
Leonardo da Vinci, Albert Einstein pernah berkata jika dia bukanlah orang yang punya
bakat khusus, melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat. Terbuka,
terutama terhadap sesuatu yang baru dan rasa ingin tahu yang besar, adalah
syarat pertama.
Yang kedua adalah kosong. “kosongkan gelasmu”, sebuah
istilah popular yang mungkin sering kita dengar. Sesuatu yang penuh tidak akan
dapat menampung apa-apa. Hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu
yang baru. Pikiran yang penuh dengan persepsi yang ada sebelumnya, walau tidak
selalu, sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Berbeda dengan anak
kecil yang melihat apa adanya, jauh dari sikap menghakimi. Seperti inilah sikap
mental yang harus kita miliki jika ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam
tentang sesuatu yang baru.
Yang ketiga, dan tak kalah penting, gelas tersebut haruslah
lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimanapun terbuka dan kosongnya
gelas, tetap tidak akan terisi jika posisi gelas itu lebih tinggi daripada
botol yang akan mengisinya. Bersikap rendah hati, menyadari bahwa masih banyak
kekurangan adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar. Anak-anak
menyadari jika dirinya jauh dari pengalaman, anak-anak selalu menganggap orang
tua lebih tahu dari dirinya.
Teringat saya pada seseorang berjiwa jernih, Lao Tze,
seorang filsuf yang juga pencipta ajaran Taoisme. Dia pernah berkata, “Mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa
adalah awal dari kebijaksanaan.” Jika kita merasa sudah tahu semuanya, kita
akan merasa cukup. Ini bisa diibaratkan buah yang sudah matang, dan kita semua tahu
buah yang matang tak lama akan menjadi busuk. Merasa diri kurang, merasa kita
masih jauh dari pencapaian membuat kita terus belajar.
Guru
Di atas kita berbicara tentang “gelas” (murid), lalu
bagaimana dengan “botol”nya, yaitu guru. Mengapa saya menyebut dan menempatkan
sosok guru sebagai sesuatu yang agung? Dalam bahasa sansekerta, Gu artinya kegelapan dan Ru artinya menghilangkan. Jadi guru
adalah dia yang menghilangkan kegelapan. Seseorang yang membawa cahaya,
seseorang yang membawa terang pada hidup kita.
Siapakah dia? Apakah dia bapak dan ibu guru yang ada di sekolah?
Ya, tetapi bukan itu saja. Orang tua, kakak? Ya, tetapi itu baru sebagian
kecil. Lalu siapa lagi?
Setiap orang, ya setiap orang adalah guru kita. Mungkin muncul
di benak pembaca, apakah perampok, pencuri dan tukang tipu adalah guru kita? Saya
akan langsung menjawabnya dengan YA. Karena merekalah sebenarnya yang mengajari
kita lebih banyak tentang arti sebuah kejujuran dan keadilan. Kahlil Gibran,
seorang penyair besar dari Lebanon, dengan indahnya menulis:
“Aku belajar diam
dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran dan kebaikan dari yang
jahat. Namun anehnya, aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada
guru-guruku ini.”
Apa yang ditulis oleh Gibran di atas buat saya adalah sebuah
resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang
menyulitkan” yang sebenarnya adalah guru-guru kita.
Sejenak melayang pikiran saya pada 2.000 tahun yang lalu,
mungkin inilah yang ingin Yesus Kristus sampaikan dengan berkata, “Kasihilah musuhmu.” Seolah-olah kita
diajak untuk tidak melihat musuh sebagai sesuatu yang harus dihindari. Musuh mengajarkan
kita begitu banyak tentang kehidupan. Musuh adalah guru sejati kita, untuk
itulah kita harus mengasihinya.
Dari sudut pandang yang serupa secara praktis dalam sebuah
subjudul Richard Carlson menulis:
“Anggaplah setiap orang
yang berjalan di bumi ini sudah tercerahkan kecuali Anda sendiri.” Apa yang
ingin dikatakan oleh Richard dalam buku pertama dari seri bukunya yang berjudul
Don’t sweat the small stuff (Jangan
meributkan masalah-masalah kecil) adalah jika anda bertemu dengan
orang-orang yang membuat hati anda mendidih, jangan marah, tetapi ubahlah cara
berpikir anda bahwa orang di depan anda adalah orang yang telah tercerahkan. Dia
dikirim kepada anda oleh pencipta supaya anda belajar untuk bersabar. Bukankah orang-orang
yang menyulitkan kita adalah orang-orang yang membuat kita pintar? Siddharta “Sang
Buddha” Gautama juga pernah berkata, “Pada
akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang
membuat diri ini sulit.”
Jika orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang kaku
mengajarkan kita pentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita
besarnya arti kejujuran, dan mereka yang berselingkuh mengajarkan arti sebuah
kesetiaan, maka diakhir tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk
mengingat-ingat orang-orang yang selama ini kita benci. Orang yang selama ini
kita hindari dan ingin membalas perbuatannya yang tidak menyenangkan kepada
kita. Setelah mengingatnya, kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah
pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?
Jika kita menemukan pelajaran yang berharga dalam hidup ini
dari sahabat-sahabat tersebut, itu berarti kita telah belajar sesuatu. Dan ucapkan
terima kasih karena mereka adalah guru kita, karena mereka kita menjadi lebih
bijak.
Jadikan setiap orang
menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam
pelajaran.
#gobindvashdev – happinessinside
Tidak ada komentar:
Posting Komentar