Selasa, 24 Februari 2015

Runtuhnya Legenda Sakit Kudis

Pada bulan-bulan pertama Saridin nyantri dan bertempat tinggal bersama para santri lain di Pesantren Sunan Kudus, yang menjadi tema utama adalah bagaimana kira-kira bentuk pertemuan antara badan Saridin dengan penyakit kudis.
Semua teman-temannya sudah penasaran dan ingin menyaksikan setiap detil dari tema tersebut. Tiap saat, siapapun saja yang berpapasan atau apalagi duduk-duduk bersama Saridin, selalu berusaha melirik atau mencuri pandang ke arah tangan Saridin.
Apakah sudah mulai ada satu dua bintik kecil di sela-sela antara dua jari Saridin. Atau apakah sudah mulai tampak ada rasa tidak jenak pada gerak-gerik Saridin. Lebih khusus lagi setiap santri berlomba ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan Saridin menggaruk-garuk entah bagian mana dari badannya.
Kabarnya Saridin pernah belajar ilmu kanuragan sebelum masuk pesantren. Kalau orang belajar pencak atau silat, biasanya juga belajar ilmu ramuan atau ilmu obat-obatan yang digali dari khasiat benda alam, terutama tumbuh-tumbuhan. Tidak perlu disebut ilmu obat-obatan tradisional, sebab waktu itu belum ada ilmu pengobatan modern.
Tapi Saridin sering berlagak. Coba saja buktikan kalau ia memang sakti dan sanggup mengelak dari komunitas kudis!
Soalnya sudah menjadi pemandangan rutin di lingkungan itu, seseorang menggaruk-garuk tangan kaki dada bahkan mungkin (maaf) selangkangannya.
****
Jangan marah dulu. Bukannya pesantren itu identik dengan sakit kudis. Bukannya Kiai atau Ulama itu pemimpn masyarakat yang tidak memperhatikan kesehatan. Bukannya lingkungan santri itu kemproh dan pengotor.
Terus terang saja ada sesuatu yang wingit dan misterius pada yang namanya penyakit kudis di pesantren. Tapi penjelasan juga bukan untuk memitoskan kudis atau melegendakannya. Ini sekedar realita yang harus dihadapi atau dipahami secara santai, tanpa perlu didramatisir atau membuat kitabengkerengan alias berang atau apalagi naik pitam.
Pada mulanya penyakit kulit adalah wabah normal-normal saja. Dulu, mungkin ada satu dua orang yang membawanya entah dari hutannya Lowo Ijo atau ketularan bajak laut Portugis. Kemudian karena kehidupan sehari-hari para santri itu selalu bergesekan satu sama lain, selalu bersama-sama, komunal, makan bersama tidur bersama – maka proses menularnya kudis berlangsung dalam percepatan yang tidak rendah.
Dalam waktu yang lama wabah itu tak bisa gampang ditanggulangi. Apalagi urusan pesantren memang banyak, dan tidak ada juzz atau fakultas atau departemen khusus yang memperhatikan hanya soal kudis melulu.
Pun jangan lupa para santri Sunan Kudus tiap hari sangat intensif membantu Kiai mereka menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan konflik antara Adipati Jipang alias Haryo Penangsang dengan Joko tingkir alias Hadiwijaya, yang merupakan warisan atau kelanjutan dari konflik perebutan kekuasaan diantara keluarga kerajaan sebelumnya.
***
Jadi, problem kudis itu bukan mencerminkan kotornya kehidupan pesantren, melainkan sekedar tidak sempat masuk dalam daftar skala prioritas kesibukan mereka.
Maka akhirnya kudis justru didayagunakan. Kita tahu salah satu pelajaran dan etos mental yang dibangun dalam pendidikan pesantren adalah kesanggupan untuk berprihatin, kemampuan untuk menderita, atau kekuatan menghadapi segala siksaan. Dalam hal itu, kehadiran penyakit kudis bisa didayagunakan untuk bahan penguji mental yang efektif bagi kaum santri.
Coba, bisakah santri khusyuk bersembahyang dalam keadaan badannya gatal-gatal? Bisakah konsentrasi belajar dan mengaji dalam situasi disiksa oleh kejamnya kudis. Bisakah ia menahan diri untuk tidak menularkan kudisnya kepada orang lain. Artinya bisakah kita selalu melindungi orang lain dari hal-hal negatif pada diri kita?
Itu semua adalah pelajaran kekuatan mental, daya konsentrasi, tapi juga akhlak sosial yang tinggi.
Kalau sampai seorang santri kena kudis, itu bukan karena temannya sengaja menularkan, melainkan karena terpaksa kena. Benar-benar terpaksa, karena tidak ada orang belajar nyantri dengan cita-cita mendapatkan sakit kudis.
Kalau sudah demikian, setiap santri akan bergumam diam-diam kepada dirinya sendiri: “Kalau belum kena kudis, berarti belum lulus sebagai santri!”
Maksudnya tentu bukan kudis itu sendiri yang penting, melainkan ‘manfaatnya’ terhadap pembinaan mental, ketahanan diri, peningkatan daya konsentrasi, kesetiakawanan untuk melindungi orang lain, dan seterusnya.
 Oleh karena itu, secara tak sengaja semakin lama masalah kudis ini semakin menjadi mitos di kalangan santri. Penyakit kudis melegenda sedemikian rupa.
Sesungguhnya ini juga suatu bentuk perlawanan psikologis terhadap sesuatu hak yang tak bisa diatasi atau tidak sempat untuk ditangani secara serius.
Daripada budaya kudis menjadi cacat, mending dikelola agar menjadi sesuatu yang positif. Kudisnya tetap, tapi manfaatnya yang bisa digali dari kehadiran kudis bisa dimaksimalisasikan.
Bahkan terkadang penyakit kudis bisa menjadi alat atau pendorong suatu bentuk tarekat yang sangat bagus efeknya bagi mentalitas dan bathin para santri. Kuman-kuman kudis seakan-akan sengaja ditaburkan oleh malaikat Allah untuk menjadi fasilitator dari keperluan-keperluan para santri untuk bertapa uzlah, atau menyepi.
Ini serius. Coba saksikan ini: seorang santri dikerubungi kuman kudis sekujur badannya. Bintang-bintang bertaburan di seluruh kulitnya. Sendi-sendi jadi kaku, jari-jarinya tak bisa ditekuk. Bisa dibayangkan bagaimana ia mandi, tidur, shalat, atau apalagi berlatih silat?
Maka ia menjadi kesepian. Tersisihkan, bahkan dari dirinya sendiri. Ia harus duduk diam, caring atau berjemur di bawah cahaya matahari kalau pagi. Ia hampir tak bisa melakukan apapun. ia harus bertapa di dalam ketersiksaannya. Ia dipaksa untuk menelusuri wilayah dalam dirinya. Ia dipaksa untuk merenung. Berpikir. Merasakan kesunyian dan kesendirian.
Percayalah, kalau si santri yang mengalaminya cukup cerdas dan peka nuraninya – maka ia akan mendapatkan manfaat intelektual maupun spiritual yang berderajat tinggi. Ia menjadi canggih dalam mengontrol diri, menyaring gagasan, dan menyeleksi perasaan. Ia menjadi rendah hati dan tahu apa makna tidak sombong dalam kehidupan.
Sama dengan Dr. Kuntowijoyo yang sehabis sakit sampai sekarang mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata karena lemah syaraf motoriknya untuk itu. Beliau menjadi lebih kontemplatif, sublime, selektif, dan gagasan-gagasannya selalu mengkristal. Itulah fungsi penyakit.
***
Akan tetapi kayaknya Saridin tidak memerlukan fasilitas dan metode tarikat semacam itu.
Sampai berbulan-bulan ia tinggal di pesantren, teman-teman santrinya kecele. Sama sekali tidak ada gejala ia garuk-garuk. Tak ada bintik-bintik kudis sedikitpun di kulitnya.
Para santri menjadi sangat jengkel. Tapi Saridin gak ngawaki: belagak pilon. Tidak tampak bangga karena itu dan berlaku seolah-olah tak ada apa-apa.
Tapi bagaimana ia bisa meruntuhkan mitos kudis itu? Sederhana. Pertama ingatlah air apu atau gamping. Mana tahan para kuman itu terhadap panas badan Saridin. Kedua, ia biasa meraih daun kates atau ijo-ijoan apapun, dan langsung saja ia makan bak kambing – tanpa direbus. Mana kuat itu kuman kudis terhadap pahit darah Saridin. Kemudian jangan lupa: Saridin sangat suka berendam di suatu tempat yang airnya mengandung belerang.
_repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar