Senin, 02 Maret 2015

Walk The Talk

Salah satu hal yang menyenangkan bagi saya sebagai pembicara publik bukanlah sewaktu menerima honor, tetapi ketika ada seseorang yang menghampiri saya dan berkata, “Terima kasih pak, apa yang bapak sampaikan sungguh berguna untuk kehidupan saya”. Dan yang lebih membahagiakan saya adalah ketika ada seseorang yang menyapa, dan berucap terima kasih bahwa ada banyak perubahan positif dalam hidupnya setelah mengikuti pelatihan yang saya bawakan beberapa waktu sebelumnya.
Penuh saya sadari saat itu bahwa angin perubahan yang telah terjadi sebagian besar akibat peran orang tersebut. Yang membuat saya senang adalah pertama karena apa yang saya kerjakan selama ini paling tidak bukan sesuatu yang merusak, dan yang kedua adalah walaupun sekecil apapun, alam semesta melibatkan saya dalam proses perubahan dalam orang tersebut.

“Perubahan” inilah kata sakti yang dijual dalam hampir semua proposal, brosur, spanduk, poster para pelatih, pembicara publik, atau bahkan penulis. Kata ini juga yang sebenarnya paling diinginkan terjadi, baik seketika atau tidak. Dan demi membuat impact perubahan yang lebih besar, para pelatih berlomba-lomba mempelajari ilmu dan teknik terbaru mempengaruhi orang lain.

Jika dahulu seminar atau workshop dilakukan satu arah, sekarang dua arah, dahulu duduk diam sekarang bergerak dengan permainan, simulasi. Ada juga dengan mempraktikkan sulap, relaksasi, bahkan terapi. Tentu ini semua membuat suasana belajar lebih menarik dan memancing perhatian para peserta sehingga apa yang disampaikan dapat meresap pada benak peserta.

Berapa persen keefektifannya dalam membuat perubahan? Terus terang saya tidak tahu, ya tentunya lebih efektif daripada cara lama. Namun, pastinya dari pengalaman mengikuti banyak seminar dan pelatihan rasanya lebih banyak yang belum berubah daripada sebaliknya. Sempat saya bertanya pada beberapa pembicara ternama, mengapa ini terjadi, mengapa lebih banyak yang tidak berubah?
Beberapa jawaban yang saya dapat adalah, “Mereka tidak konsisten menerapkan tool yang saya berikan, makanya tidak ada perubahan.” Yang agak cuek menjawab, “peran saya hanya memotivasi, selanjutnya terserah mereka.“ Yang lebih menarik ada yang menjawab, “Mereka kan datang kesini bukan karena kemauannya, tetapi disuruh dan dibayar oleh perusahaannya, mereka memang belum mau berubah, jadi diapa-apakan juga sama saja.”

Menanggapi jawaban terakhir ini saya pernah mendengar ada seorang pembicara yang sudah tidak mau lagi diundang berbicara dalam perusahaan atau yang biasa disebut in house training karena alasan tersebut.

Apa yang dikatakan pembicara papan atas itu memang susah untuk disangkal, bahwa perubahan semestinya dari diri sendiri. Para pelatih ini hanya memberikan alat, motivasi, arahan dan semacamnya. Tetapi perubahan terletak pada orang itu sendiri.

Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, jika begitu ceritanya, apa yang terbaik yang manusia lakukan untuk dapat membuat perubahan dalam diri orang lain? Akhirnya, saya menemukan dalam sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang yang sangat besar dalam memimpin perubahan, yaitu Mahatma Gandhi. Be the change that you want to see in the world,” begitulah bunyinya. 
Jadilah perubahan seperti yang ingin kau lihat.

Biarkan saya mengambil sebuah cuplikan kehidupan Gandhi yang senada dengan apa yang dia katakan.

Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada Gandhi, dan berkata, “Gandhi, maukah engkau menasihati anak saya ini? Dia mempunyai sebuah penyakit, yang untuk kesembuhannya, dia tidak boleh mengkonsumsi garam. Tolong beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam, saya dan keluarga bahkan dokternya pun sudah berulangkali menasihatinya, teapi dia masih tetap makan garam, saya sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Dengan tersenyum dan suara lembut Gandhi berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan ibu pulang dan bawa anak ibu ke sini minggu depan.”
“Gandhi,” kata ibu itu, “anak itu di depanmu sekarang, tidak bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Gandhi dengan senyum yang selalu di bibirnya hanya menggelengkan kepalanya yang menandakan tidak.
Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang dan tepat satu minggu mereka berdua ada dihadapan Gandhi. “saya sudah menunggu satu minggu,” kata ibu itu kepada Gandhi, “sekarang berikan nasihat itu.” Kemudian Gandhi datang mendekat ke anak itu, dan menasihati anak itu untuk tidak makan garam. Apa yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang ibu merasa sedikit kecewa karena dalam penantiannya satu minggu dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang lebih daripada kata-kata yang biasa.
Tidak lama kemudian, Gandhi meminta ibu dan anak itu pulang, kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si ibu. Si ibu tidak yakin ini akan berhasil. Namun yang terjadi sebaliknya, anak ini berhenti makan garam. Ibunya berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari, tetapi kenyataannya lebih dari itu, anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini menghadap ke Gandhi untuk ketiga kalinya dan langsung bertanya: “Gandhi, rahasia apa yang kamu miliki sehingga kamu bisa membuat anak saya berhenti makan garam?” Tanya si ibu. ‘Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering menasihatinya dengan cara yang sama. Menurut saya dokternya menasihati dengan cara yang lebih baik, tetapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”
Dengan lembut Gandhi menjawab pertanyaan ibu ini dengan jawaban: “ibu masih ingat pada kali pertama ibu kesini dan saya meminta ibu datang satu minggu kemudian?”
“Ya, itu dia kenapa, terus terang saya masih penasaran.” Sahut ibu itu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasihati anak ibu untuk berhenti makan garam, karena pada saat itu saya masih mengkonsumsinya, sepulang ibu dari sini, saya berhenti makan garam, sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa berbicara untuk tidak makan garam ke anak ibu.”

Wow inilah kualitas seorang Gandhi. Dia hanya berbicara apa yang telah dilakukannya saja, dalam istilah bahasa inggris ini disebut walk the talk. Meski terlihat tidak ada hubungannya, apakah Gandhi makan garam atau tidak, toh anak itu tidak tahu, bukan? Namun, menurut saya itu adalah bentuk komunikasi nonverbal yang sangat dalam.

Selama ini, dalam pelatihan atau seminar yang saya ikuti tentang komunikasi diajarkan bahwa bentuk komunikasi nonverbal adalah bahasa tubuh dan vokal. Untuk memengaruhi orang kita harus membangun kepercayaan, dan untuk itu kita harus menyamakan gerak kita dengan orang yang akan kita ubah. Seperti memainkan intonasi sebelum menutup pembicaraan, berbicara dengan nada dan mimik tertentu agar dapat dipercaya dan lain sebagainya.

Ternyata kekuatan nonverbal terbesar bukanlah disana, tetapi sebuah hal yang tak terlihat sama sekali, yaitu sebuah kejujuran dalam berpikir, bertindak dan perkataan yang keluar sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Jika kita lihat sosok manusia yang diberi gelar Mahatma ini, sangatlah tidak meyakinkan: postur tubuh yang kecil, berambut jarang, suaranya lembut, gayanya yang tenang dan kalem terkesan lemah.

Dia jauh dari gaya seorang motivator yang mampu membakar semagat ribuan orang dihadapannya. Namun, Gandhi menurut saya adalah sosok manusia yang susah dicari tandingannya di zaman ini.
Bahkan kehebatan Gandhi membuat sang fisikawan genius Alber Einstein tidak tahan untuk mengeluarkan kata-kata, “Pada saatnya akan banyak orang yang tak percaya dan takjub bahwa pernah hidup seorang seperti Gandhi di muka bumi.” Bagaimana tidak? Ketika dia bicara, tidak kurang dari 400 juta rakyat India mendengar dan juga melakukan apa yang dia minta. Dia bukanlah seorang penguasa, tidak mempunyai senjata ataupun pangkat yang dapat mengancam atau menakut-nakuti orang lain. Kekuatan Gandhi berasal dari dalam, dari integritas walk the talk yang dilakoni selama hidupnya.

Mungkin inilah tantangan terbesar dari pembicara atau pelatih, dia harus melakukan apa yang dibicarakan dahulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Belajar sesuatu yang baru, membaca, mengikuti seminar untuk mendapat ilmu baru bukanlah hal yang susah. Membagikan apa yang didapat dengan cara dan sudut pandang berbeda perlu latihan, tetapi bukan hal yang berat jika dibandingkan dengan walk the talk.

Ungkapan bahwa action speak louder than words” sangatlah tepat. Ini juga membongkar teka-teki mengapa anak para professor atau doktor juga menjadi anak yang pandai. Sebelumnya mungkin dipercaya bahwa itu adalah karena unsur bawaan atau genetika, tetapi sebenarnya yang lebih tepat anak-anak ini melihat para orang tuanya belajar. Sementara kebanyakan orang tua meminta anaknya membaca atau belajar hanya dengan perintah saja.

Sewaktu menulis artikel ini, saya teringat wajah keluarga dan juga sahabat-sahabat saya yang mengubah gaya hidupnya menjadi vegetarian. Saya tidak pernah memintanya, mereka melakukan dengan sendirinya dan efeknya permanen. Saya bahkan tidak mengira ini akan terjadi. Saya hanya melakukan untuk diri saya sendiri dari kecintaan saya terhadap makhluk lain. Bagi saya, tidaklah adil jika hanya untuk memuaskan sepuluh sentimeter lidah ini, saya harus mengorbankan sebuah nyawa.
Hari ini, sudah lebih dari setahun saya mandi tanpa menggunakan sabun, dan menggantinya dengan garam. Menggantikan foam pencukur jenggot dan kumis dengan lidah buaya. Sementara untuk mencuci rambut, mencuci piring dan baju serta mengepel, saya memakai larutan buah klerek. Kemana-mana membawa botol air minum, hanya membeli buah local, berbelanja tanpa meminta tas plastik dan banyak lainnya yang sering menjadi bahan tertawaan teman-teman.

Awalnya, semua terlihat berat dan aneh. Sama seperti mengawali menjadi vegetarian di usia yang belum genap 20 tahun waktu itu. Namun kecintaan pada lingkungan serta semangat dari orang-orang besar, Gandhi salah satunya, terus terngiang di telinga, Be the change, Be the change, Be the change that you want to see in the world.”

#gobindvashdev – happinessinside

Tidak ada komentar:

Posting Komentar