Selasa, 24 Februari 2015

Demokrasi Tolol Versi Saridin

Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti, murid itu bukan padanan kata siswa atau student, sebagaimana manusia modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak. Mereka lucu dan bahkan sangat lucu, karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja, di dunia modern ada yang namanya Universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut ‘sarjana’.
Padahal sesungguhnya saridin membuktikan sendiri, bahwa para pelaku pendidikan dunia modern ini ndagel atawa melawak. Mereka pura-pura bikin universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universal.
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu pada kualitas fakultatif bahkan jurusan.
Apa begitu itu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndagel. Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: Kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah, itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spectrumkulliyah atau universalitas. Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan tanyakan kepada mereka “Apa ini?” mereka paling menjawab – “ini baju,” atau “ini celana”, “ini cawet” atau “ini dasi.”
Mereka tidak pernah menjawab – “ini kain”, “ini benang”, “ini kapas”, “ini serat-serat”, atau mungkin “ini kerjasama antara ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan manusia.”
Pendeknya, pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya kedalaman pengetahuan mereka itu hanya bisa diterangkan melalui dua kemungkinan acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu: ndagel.
***
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal ‘dasi’ atau ‘sepatu’, yang merupakan ciri-ciri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan zaman modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, simbol gengsi, dan lain sebagainya. Itu semua pada penglihatan Saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan atau apalagi ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir Tuhan sendiri bisa geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu. “Pakailah sepatu”, kata saridin menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, “agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam”.
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung untuk menolak berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang beralaskan karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan – “tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlincet (lecet).
Disinilah, menurut studi saridin, puncak lawakannya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti kebingungan –“jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki atau mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?”
Oleh karena itu, sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid.
‘Murid’ itu kata subjek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan.Artinya: seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan.
Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga Ia sendiri yang berkehendak, atau yang menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad. Artinya orang yang dikehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, sistem pendidikan dan metode pengajaran tersendiri, tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metode dan proses belajar ataukaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri. Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
***
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitumbagusi ketika mentertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qurannya, satu juz saja, di depan para santri lainnya - dengan mantap ia menjawab: “Sunan, adalah hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak.”
Demokrasi, bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip Hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab: “Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorangpun bisa memaksa saya..”
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
“Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi dibalik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.
_repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar