Selasa, 24 Februari 2015

SIM

Ini adalah sebuah kisah dari Sampang, tentang pengendara sepeda motor yang marah-marah, ditilang polisi lalu lintas gara-gara tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi). Memang orang Madura itu menyodorkan SIM ke polisi itu. “Ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya berbeda!” kata bapak polisi. Maka tersinggunglah si pengendara motor itu; “Lho bapak ini kok aneh-aneh! Lha wong yang saya pinjemi SIM saja ‘dak marah-marah kok, malah Bapak yang marah!”.
Sepintas memang terasa bahwa si pengendara sepeda motor orang Madura itu tampak bego, namun kalau kita simak secara seksama, sesungguhnya sangat cerdas, jujur, lugu, tak menipu sekaligus upaya melindungi dirinya melalui perangkat logikanya yang sangat luar biasa. Logika hukum tentang tidak boleh menggunakan SIM milik orang lain itu tidak ada dalam kamusnya, yang ada kecuali kalau dia mencuri SIM orang lain, dia pinjam baik-baik pada yang empunya SIM – justru yang tidak boleh bila mengendarai sepeda motor tanpa membawa SIM. Betapa jeli dan cerdasnya orang itu menangkap kelemahan ketidaklengkapan informasi yang diproduk dan disosialisasikan polisi kepada masyarakat;
-          Mengemudikan kendaraan bermotor, tidak dapat MENUNJUKKAN SIM dipidana kurungan dua bulan atau denda maksimal dua juta rupiah.
-          Mengemudikan kendaraan bermotor, tidak memiliki SIM dipidana kurungan enam bulan atau denda maksimal enam juta rupiah.
Mestinya bunyi kalimat yang diinformasikan ke masyaraat adalah: Setiap pengendara motor wajib memiliki dan dapat menunjukkan SIM sesuai dengan nama, tanda tangan dan pas photo.
Tentunya bukan sekedar permainan kata, pertanyaan bisa dikembangkan – mengapa tidak semua pengendara motor memiliki SIM? Apakah sulit mencari/mendapatkan SIM? Apakah mahal biaya mengurus SIM? Konon menurut pengalaman empiric dari dulu sampai dengan era omputerisasi tetap saja yang namanya pelayanan public di Indonesia (termasuk di dalamnya bagaimana mendapatkan SIM) masih belum beranjak pada kebiasaan sebelumnya, yakni; masih seneng berbelit-belit, bahkan ada semacam psikologi para ‘pelayan masyarakat’ yang merasa puas kalau menyaksikan masyarakat tersiksa karena menunggu lama, bingung, menghadapi serba ketidakjelasan, diombang-ambing – bukan sebaliknya, puas karena mampu secara cepat melayani kebutuhan masyarakat. Bagi ‘pelayan masyarakat’, hal itu adalah kepuasan tentang dirinya –kecuali dengan uang kontan dan Cuma-Cuma yang bisa memperlancar/memperpendek waktu dan segera masyarakat mendapatkan yang diperlukan. Kisah orang Madura di atas, satu contoh – nampaknya lebih memilih yang cepat, praktis pinjam SIM ke temannya daripada setengah mati ngurus ke kantor polisi. Bisa saja sih kita tuduh si pengendara motor orang Madura itu malas, tapi jangan lupa – bisa juga soal lain, jangan-jangan dia gak mau harga dirinya terluka karena pengalaman selalu dipermainkan bila berhadapan dengan aparat pelayanan masyarakat, maka “parody” dipakai sebagai benteng pertahanan harga dirinya.
_repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar