Senin, 09 Maret 2015

Saatnya Belajar dari Wanita

Secara umum, manakah yang lebih rentan stres, pria atau wanita? Pertanyaan ini sering muncul dalam pelatihan stres management yang biasa saya lakukan. Sebuah pertanyaan singkat yang sederhana, bukan? Namun jawabannya, hmmm … tidaklah sesederhana itu.

Pada umumnya, wanita lebih gampang terkena stres, tetapi saya sangat menyarankan setiap pria untuk belajar menyikapi stres dari wanita. Lhoi kok? Ya, dan inilah sebenarnya rahasianya, pencipta kita sangatlah adil. Dia menciptakan kekuatan dan kelemahan dalam satu kesatuan. Kekuatan dan kelemahan yang sering kita pandang sebagai hal yang berlawanan sebenarnya saling melengkapi.
Di dalam setiap kekuatan tersimpan kelemahan, dan juga sebaliknya. Banyak yang memandang kecilnya seekor semut adalah kelemahan, tetapi karena kecil maka semut bisa masuk ke tempat yang tak terjangkau oleh binatang lain.

Begitu pula dengan wanita, banyak sekali yang melihat sebagai kaum yang lemah. Saya pribadi melihat dengan cara berbeda 180 derajat dari kebanyakan sahabat. Sejak kecil saya selalu mengagumi sosok wanita, saya melihat banyak kemampuan wanita yang harus saya pelajari dalam kehidupan ini.
Setelah beribu tahun pria menjadi panutan, wanita telah belajar banyak dari pria dalam berbagai bidang, bukankah sudah seharusnya pria juga harus belajar dari wanita? Saya percaya, jika pria belajar dari wanita bagaimana menghindari atau menyikapi kejadian pemicu stres yang datang, pria akan mendapatkan hidup yang lebih berkualitas. Tulisan ini dibuat bukan dimaksudkan membandingkan mana yang lebih baik. Namun, lebih untuk pemahaman yang lebih tinggi antara keduanya. Walau terkesan tulisan ini hanya untuk pria, sebenarnya wanita dapat mempelajari tentang dirinya lebih dalam dan lebih memahami mengapa dirinya berbeda dengan pria.

Fisiologi

Secara fisiologis, otak wanita lebih kecil daripada otak pria. Meski lebih kecil, otal wanita bekerja 7-8 kali lebih keras dibanding pria pada saat menghadapi sebuah masalah. Di samping itu, ada sebuah jembatan antara otak kanan dan otak kiri, jembatan ini disebut corpus callosum. Jembatan pada pria lebih tipis dan jarang, sedangkan pada wanita jembatan ini lebih tebal dan lebih banyak 30%. Jembatan yang lebih tebal ini memungkinkan wanita memandang sebuah persoalan lebih lebar dan menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Ini membuat sebuah permasalahan menjadi lebih kompleks.

Sementara itu, seringkali menurut para pria hal satu dan yang lainnya tidak berhubungan. Selain secara mental, dalam memandang sebuah persoalan, secara fisik pun hal yang sama terjadi. Ini pun berlaku pada lebar tidaknya pandangan mata antara pria dan wanita. Wanita memandang lebih lebar sedangkan pria lebih sempit. Oleh karena itu, jika seorang pria melihat wanita cantik lewat harus memutar lehernya, sementara wanita yang memandang pria ganteng cukup dengan melirik saja. J

Bukti lain dapat dilihat dalam sebuah survey kecelakaan para pengemudi pria dan wanita. Pada mobil atau kendaraan yang dikemudikan oleh pria, bagian yang sering kena benturan adalah kanan dan kiri, sementara wanita depan dan belakang. Ini sebabnya wanita agak sulit untuk memarkirkan mobilnya.
Selain secara struktur otak, yang menyebabkan wanita lebih mudah stres, ternyata seorang wanita, memiliki keinginan untuk tampil menjadi wanita sempurna. Menjadi ibu yang welas asih, istri yang menggairahkan, menjadi tetangga yang baik atau bos yang berwibawa. Menurut Simoner de Beauvoir, seorang pelopor feminisme modern, dalam bukunya Second Sex, keinginan itu bukan berasa dari luar melainkan dari dalam diri wanita. Inilah yang membuat wanita cenderung lebih stres.
John Gray Ph.D. yang mendunia dengan seri bukunya Men are from Mars and women are from Venus juga mengatakan wanita ingin selalu menyenangkan orang lain, mereka ingin selalu memberikan, tetapi tidak memberi diri sendiri dengan cukup. Semua ini membuat wanita sering kewalahan dan menderita stres yang tinggi. Belum lagi jika ditambah kondisi hormonal yang tidak seimbang sebelum menstruasi.

Dari fakta-fakta yang ada tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa wanita mengalami stres yang lebih besar daripada pria. Namun menariknya, 2/3 populasi yang mengkonsumsi alkohol adalah pria., 80% yang menggunakan narkotika dan obat terlarang adalah pria, 90% yang menghuni lembaga permasyarakatan atau penjara adalah pria. Lalu walau percobaan bunuh diri tiga kali lebih banyak dilakukan oleh wanita, tetapi empat dari lima orang yang melakukan bunuh diri adalah pria. Aneh bukan? Mengapa yang mengalami stres wanita dan yang melakukan tindak kriminal adalah pria? Mengapa yang depresi lebih banyak wanita dan yang bunuh diri lebih banyak pria?
Di bawah ini adalah tiga dari banyak perangkat lainnya yang dipergunakan oleh wanita dalam menghadapi stres. Sekarang saatnya belajar dari wanita.

Berbagi
Disinilah sebenarnya kaum adam dapat belajar banyak dari kaum Hawa. Pria sudah seharusnya mulai menghilangkan pola budaya turun-temurun, bahwa setiap masalah dapat “dibereskan” sendiri. Memendam dan memikirkan sendiri masalah sama seperti menyimpan bom yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Setiap wanita secara alami senang mencurahkan kejadian sehari-hari dalam hidupnya, baik itu masalah atau kejadian yang menyenangkan. Inilah yang biasa disebut “curhat”. Wanita bericara tanpa mengharapkan solusi. Mereka berbicara untuk melepaskan apa yang dirasakan dalam dirinya, dan ini menjadikan wanita lebih ringan dalam menjalani hidupnya.
Dalam keadaan stres, wanita berbicara tanpa berpikir. Karena itulah 90% dari penghuni penjara adalah pria dan 90% yang datang ke psikolog adalah wanita. Menurut survey setiap hari wanita mengeluarkan sekitar 20.000 kata, sedangkan pria hanya 7.000 kata. Wanita suka sekali berbicara dengan sesama jenis, ini karena otak pria tidak didesain untuk mendengar. Namun kurangnya keterampilan mendengar bukannya tidak dapat diubah, keterampilan ini dapat dikuasai pria dengan latihan.

Menangis
Selain berbicara, wanita juga mengeluarkan emosinya dengan menangis. Namun, hal ini dipandang tabu oleh sebagian besar pria. Ada sebuah hukum yang tidak tertulis dalam budaya pria, bahwa pria tidak boleh menangis. Menangis adalah untuk wanita, untuk kaum yang lemah.
Bagi saya, menangis bukanlah hak kaum wanita saja, menangis adalah hal yang sangat manusiawi. Sama seperti tertawa, menangis adalah sebuah luapan emosi. Jika emosi sudah mencapai titik tertentu, air mata muncul untuk meredakan perasaan yang bergejolak itu.
Teringat saya dengan Viktor Frankl, seorang penemu logotherapy yang pernah dipenjara di kamp konsentrasi Auswitch. Seluruh keluarganya dibunuh kecuali saudara perempuannya. Dalam bukunya, Frankl berkata, “Ada banyak penderitaan yang harus kita jalani. Karenanya, kita perlu menghadapi seluruh penderitaan kita, dan berusaha menekan perasaan lemah dan takut. Akan tetapi kita juga tidak perlu malu untuk menangis, karena air mata merupakan saksi dari keberanian kita untuk menderita.”

Pelukan
Yang satu ini juga jarang dilakukan oleh pria, pelukan adalah obat termurah selain tertawa. Begitu banyak penelitian tentang pelukan dan semuanya membuktikn bahwa pelukan akan merangsang hormon oxytocin (sebuah hormon yang berhubungan dengan perasaan cinta dan kedamaian) keluar dan sekaligus menekan cortisol dan norepinephrine (hormon pemicu stres). Selain itu, oxytocin juga baik untuk jantung dan pikiran kita.

Di Kansas, Amerika Serikat, Dr. Harold Voth, seorang psikiater senior, telah melakukan riset dengan beberapa ratus orang. Hasilnya, mereka yang berpelukan mampu mengusir depresi, meningkatkan kekebalan tubuh, awet muda, tidur lebih nyenyak, dan lebih sehat. Kulit adalah organ tubuh yang terbesar, dan dibawahnya terdapat begitu banyak kelenjar-kelenjar yang aktif dan mengeluarkan hormon kekebalan jika disentuh.

Ada kecenderungan, semakin dewasa seseorang semakin jarang sentuhan melekat di tubuh ini. Seorang bayi selalu dalam pelukan, seorang anak kaya akan sentuhan orang-orang di sekitarnya, tetapi setelah dewasa sentuhan semakin jarang. Bahkan jabat tangan dan cium pipi belum tentu setiap saat dilakukan setiap bertemu teman. Seorang terapis keluarga yang sangat saya kagumi, Virginia Satir, mengatakan, “Untuk bertahan hidup, kita membutuhkan empat pelukan sehari. Untuk keseharan, kita butuh delapan pelukan per hari. Untuk pertumbuhan, awet muda, kebahagiaan, kita perlu 12 pelukan per hari.”

Saya sangat mengerti jika otak pria tidak didesain untuk berbagi, apalagi mendengar. Saya juga tahu jika hormon pria dan wanita sangat berbeda sehingga menyebabkan pria susah untuk berekspresi berlebihan seperti menangis. Saya juga menyadari jika kulit pria tidak terlalu peka dibandingkan kulit wanita. Namun, semua bukanlah harga mati yang tidak dapat diubah, kita dapat pelajari apa yang terbaik dari wanita. Saya yakin, kita dapat merasakan perubahan setelah kita sadar dan mempraktekannya.

Akhir kata, selamat berbagi, menangis, dan berpelukan

#gobindvashdev – happinessinside



Tidak ada komentar:

Posting Komentar