Ada satu pertanyaan yang hampir pasti ditanyakan jika saya
berjumpa dengan sabahat-sahabat lama atau teman-teman baru saya, yaitu apa
pekerjaan anda? Atau bekerja di mana? Sedang bisnis apa? Kedengarannya ini
pertanyaan mudah, tetapi perlu beberapa saat bagi saya untuk menjawabnya,
walaupun sudah ratusan kali saya mendapat pertanyaan yang sama. Entah mengapa
saya selalu kesulitan untuk spontan menjawabnya. Selalu muncul huruf “M” yang
panjang sebelum menjawabnya, seringkali saya jawab bahwa saya seorang
penganggur. Lalu sang penanya umumnya akan berkata, “Mana mungkin?”
Sejak kecil saya tidak pernah suka bekerja, belajar untuk
menghadapi soal-soal ujian nasional pun saya enggan, apalagi ujian biasa. Bahkan,
tidak jarang saya berjanji untuk tidak memegang lemari buku selama ujian
berlangsung. Namun walau tidak suka bekerja dan belajar, jangan diasumsikan
bahwa saya adalah anak yang malas. Dibalik semua “kemalasan bekerja”,
sebenarnya saya adalah anak yang sangat rajin untuk bermain. Buat saya tidak
ada kata “capek” untuk bermain atau melakukan yang saya sukai.
Saya sangat suka pergi ke suatu tempat yang baru, bertemu
dengan sesuatu yang baru, bereksplorasi dengan hal-hal yang belum pernah saya
ketahui sebelumnya. Ada jutaan pertanyaan di kepala saya jika menemui hal baru.
Sering saya kecewa karena banyak sekali pertanyaan-pertanyaan saya tidak
terjawab. Bahkan ketika saya menanyakannya pada orangtua atau guru di sekolah.
Berbagai jawaban saya dapatkan. Namun jawaban “emang begitu dari sananya,”
adalah jawaban yang paling gampang terlontar, karena tak bikin pusing.
Kemalasan saya ini berlanjut hingga dewasa, sampai sekarang
pun saya malas untuk bekerja.
Setelah lulus SMA, saya masuk ke Universitas hanya karena
terdorong suatu harapan baru, bahwa semua pelajaran yang membosankan sewaktu di
bangku sekolah tidak akan terulang. Seperti yang dapat diduga, saya keluar sebelum
menggembol gelar sarjana. Saat itu, dari Surabaya saya pindah ke Jakarta dan
ingin bekerja sekeras mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar
kemudian saya tidak usah bekerja lagi. Yang terpikir saat itu adalah peluang
apa yang ada dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan rupiah.
Pagi sampai malam saya bekerja, saya tahu hati saya menangis
dan menjerit, tetapi saya tidak peduli. Yang ada dalam kepala ini hanya sebuah
pepatah yang saya yakin semua orang di negeri ini hafal luar kepala, yaitu “berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian.”
Semangat ’45 bertahan pada tahun pertama. Tahun selanjutnya,
seperti kebanyakan orang yang telah lama bekerja di sebuah perusahaan, terbangun
karena bunyi jam weker pukul 6 pagi, mata yang berat, badan terasa pegal. Otak kita
pun mulai berperang antara satu bagian dan lainnya, yang satu berkata, “Ayo
bangun, sudah pagi, gerakkan badanmu supaya sehat.” Yang satunya dengan lembut
membujuk, “Tidurlah 5 menit lagi, kau kerja terlalu berat, tubuhmu perlu istirahat.”
Setelah itu saya bangun dengan mata yang terbuka setengah dan menyeruput kopi
sebagai sarapan sekaligus dopping. Tidak
lama kemudian teringat akan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dan
janji yang harus ditepati. Hhh … inikah hidup? Seperti inikah hidup yang harus
setiap orang jalani? Apakah ada kehidupan yang lebih baik?
Setiap kali ada dorongan kuat untuk meninggalkan semua ini
dan menjalani hidup sesuai keinginan, setiap kali itu pula timbul perasaan sayang
jika semua yang telah dirintis harus ditinggalkan. Saldo tabungan yang meninggi
setiap bulannya benar-benar telah menjadi bola besi yang terpasung di kaki ini.
Saya tahu gaya hidup saya sangat kacau, dan mengorbankan
banyak hal termasuk kesehatan dan yang paling parah adalah mengorbankan
kedamaian pikiran. Padahal jika
dipikir-pikir, apapun yang kita lakukan dalam mencari kesenangan atau
mengumpulkan materi tujuannya adalah untuk mendapatkan kedamaian pikiran. Namun
pada saat itu saya seolah-olah tidak sanggup untuk melepaskan, ada sisi lain
dari dalam diri yang berkata, “Korbankan sebentar, nanti kau akan bahagia
selamanya.”
Saya yakin banyak dari kita yang mengalami yang saya alami,
merasa bosan dengan rutinitas seperti robot. Kita melakukan hal yang sama
setiap harinya. Hidup terasa tanpa makna, tanpa sesuatu yang benar-benar
memuaskan jiwa. Jikapun kita meminta cuti untuk liburan dan refreshing ke suatu tempat yang baru,
itu hanya sekedar kebutuhan fisik dan pikiran sesaat. Dan yang menarik, setelah
selesai liburan, muncul kemalasan seperti halnya anak kecil yang esok harinya
akan masuk sekolah setelah libur panjang.
Nasib baik mendatangi saya, apa yang saya kumpulkan selama
bertahun-tahun hilang dalam hitungan bulan, saya tidak akan membahas hal itu,
itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah pelajaran yang mencerahkan
diri saya setelah peristiwa itu.
Pada awalnya memang sangatlah berat, jendela masa depan
terasa sudah tertutup rapat. Saya seolah-olah merasakan perasaan para miliarder
yang pada awal krisis moneter 1997 tiba-tiba menjadi miskin sekali, bahkan
lebih miskin dari pengemis di jalan karena banyaknya utang yang ditanggung. Dalam
dunia yang serba tidak pasti ini, apapun dapat terjadi.
Kesibukan yang sebelumnya tiada henti berganti dengan
hari-hari yang saya habiskan dengan merenung dan merenung. Handphone yang
sebelumnya berdering setiap beberapa menit kini hening. Namun dalam perenungan
itu, saya mendapat begitu banyak inspirasi, pencerahan. Saat seperti inilah
yang mungkin disebut moment “Aha!” oleh banyak penyair, pencipta lagu, serta
ilmuwan seperti Einstein dalam menemukan rumus spektakulernya, E=MC².
Saya tersadar bahwa apa yang manusia kumpulkan
bertahun-tahun dapat hilang dalam hitungan detik. Apa yang kita pelajari dan
kita diyakini sebelumnya dapat menjadi salah total. Dan yang lebih penting
lagi, saya belajar bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Ya, saya ingin
memastikan dengan mengulangi lagi bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita
ingin bahagia atau tidak itu pilihan kita. Terus terang, memang tidak gampang
menerima konsep ini. Saya dapat mengerti jika banyak pembaca yang tidak setuju.
Kita telah terhipnosis oleh lingkungan kita sehingga kita merekatkan
kebahagiaan dengan sesuatu di luar. Seperti saya akan bahagia jika mempunyai
deposito yang bunganya dapat menghidupi diri saya atau bahagia jika sudah
mendapatkan pasangan hidup.
Kita sering mengacaukan kebahagiaan dengan kesenangan
duniawi. Kesenangan luar inilah yang kita kejar, bukan kebahagiaan yang di
dalam. Terus terang kita sudah kehilangan arah, Socrates pada 25 abad yang lalu
telah mengatakan, “Gnothi seauton
(Kenali dirimu),” sebuah kata yang sederhana, tetapi maknanya sangat
mendalam. Setahu saya kalimat ini juga dikatakan orang-orang suci yang datang
ke dunia ini. Apa yang ingin dikatakan Socrates adalah: kita terlalu berorientasi
ke luar.
Kita lupa menengok ke dalam, kita tidak menyadari bahwa
setiap orang mempunyai misi individu. Pernahkah
kita bertanya kepada diri sendiri, apa misi kita dalam hidup ini? Pastinya,
kita bukan hidup untuk sekedar lahir, menikah, meneruskan keturunan, dan pulang
kembali.
Mengenal diri sendiri merupakan kunci penting untuk membuka
pintu untuk melangkah dalam hidup ini. Dengan bertanya pada hati kita misi
hidup ini dan apa yang benar-benar kita inginkan untuk meraihnya, tujuan kita
akan jelas. Dari sini kita dapat hidup
dan bekerja karena pilihan, bukan peluang. Memang sulit awalnya untuk mengetahui misi kita, karena pikiran kita terbiasa
berfokus keluar, bukan ke dalam. Namun mungkin kita dapat memulai dengan
bertanya pada diri sendiri, pekerjaan apa yang senang kita lakukan walau tanpa
dibayar sekalipun.
Jika kita sudah dapat menjawabnya, sebenarnya kita sudah
mulai mengenal diri sendiri. Dan langkah selanjutnya adalah melakukan keinginan
hati, atau yang sering kita dengar “ikuti kata hatimu,” lakukan apa yang hati katakan,
kerjakan dengan sepenuh hati, kepuasan pun akan datang.
Paolo Coelho, dalam buku masterpiece-nya,
The Alchemist, menulis dengan
indahnya, “Di mana hatimu berada di
sanalah hartamu terletak.” Jika seseorang bekerja sesuai panggilan hatinya,
sebenarnya orang tersebut sudah dapat dikatakan tidak bekerja, karena dia hanya
melakukan apa yang disukainya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk bekerja
hanya pada panggilan hati saya.
Saya sangat suka berbagi pengetahuan, dan saya senang sekali
jika dapat memberikan sesuatu yang saya pikir berguna untuk seseorang. Itulah yang
membuat hati saya bahagia, tetapi apakah saya dapat hidup hanya dengan
melakukan itu? Terus terang pada awalnya banyak keraguan dan ketakutan. Keraguan
mengingat banyaknya tawaran menggiurkan datang kepada saya untuk bekerja dan
tinggal di Jakarta dengan gaji awal yang dapat dikatakan cukup tinggi. Ini makin
memperbesar ketakutan apakah saya dapat bertahan dengan berbagi?
Dunia kita ini terlalu dan selalu berfokus pada apa yang bisa
kita dapatkan sebelum melakukan pekerjaan. Hukum ekonomi yang semua orang
pelajari berbunyi pengeluaran sekecil-kecilnya dan pendapatan yang
sebesar-besarnya. Kita lupa bahwa sebelum kita memetik hasil, kita harus
menanam dulu, jika kita ingin lebih maka kita harus melakukan lebih. Inilah yang
dikatakan Oprah Winfrey pada 26 tahun yang lalu sewaktu dia memulai program talk show-nya yang mendunia. Bill Gates
pun merintis Microsoft dengan susah payah dalam garasi rumahnya.
Hal ini mengingatkan saya pada pidato terkenal dari mendiang
John F Kenedy, “Jangan tanyakan apa yang
dapat Negara berikan kepada anda, tetapi tanyakan apa yang bisa anda berikan
kepada Negara.” Pelayanan apa yang dapat saya berikan untuk membuat dunia
lebih baik, nilai tambah apa yang dapat saya wujudkan untuk perkembangan
manusia? Inilah yang seharusnya menjadi fokus kita semua. Jika kita percaya
bahwa Pencipta kita adil, seharusnya kita tidak takut untuk berbuat lebih,
bukan?
Yang menarik lagi, ketika kita fokus pada hasrat dalam diri
sendiri dan fokus pada apa yang dapat kita berikan, kita tidak takut dengan
persaingan. Kita sadar bahwa setiap individu adalah unik. Ketika kita dapat menggali dan menemukan keunikan dalam diri lalu
menggunakannya dengan fokus “memberi”, kepuasan akan bertamu dalam diri kita.
Nah, sekarang percaya kan jika saya tidak bekerja, saya
hanya melakukan apa yang benar-benar saya suka. Saya suka sekali berbagi. Saat ini
saya berbagi melalui tulisan di majalah Psikologi
Plus. Selain dari itu, saya juga berbagi melalui pelatihan stress management dan motivasi serta berbagi
dalam talkshow mingguan di Radio Duta
FM di Bali.
Suatu hari saya benar-benar kebingungan sewaktu harus
mengisi sebuah formulir berbahasa inggris yang harus mencantumkan pekerjaan
saya. Karena tidak boleh diisi dengan jobless
(penganggur). Dengan bangga saya mengisinya dengan heartworker. J
#gobindvashdev – happinessinside
Tidak ada komentar:
Posting Komentar