Selasa, 10 Maret 2015

Ngapain Bekerja ?

Ada satu pertanyaan yang hampir pasti ditanyakan jika saya berjumpa dengan sabahat-sahabat lama atau teman-teman baru saya, yaitu apa pekerjaan anda? Atau bekerja di mana? Sedang bisnis apa? Kedengarannya ini pertanyaan mudah, tetapi perlu beberapa saat bagi saya untuk menjawabnya, walaupun sudah ratusan kali saya mendapat pertanyaan yang sama. Entah mengapa saya selalu kesulitan untuk spontan menjawabnya. Selalu muncul huruf “M” yang panjang sebelum menjawabnya, seringkali saya jawab bahwa saya seorang penganggur. Lalu sang penanya umumnya akan berkata, “Mana mungkin?”

Sejak kecil saya tidak pernah suka bekerja, belajar untuk menghadapi soal-soal ujian nasional pun saya enggan, apalagi ujian biasa. Bahkan, tidak jarang saya berjanji untuk tidak memegang lemari buku selama ujian berlangsung. Namun walau tidak suka bekerja dan belajar, jangan diasumsikan bahwa saya adalah anak yang malas. Dibalik semua “kemalasan bekerja”, sebenarnya saya adalah anak yang sangat rajin untuk bermain. Buat saya tidak ada kata “capek” untuk bermain atau melakukan yang saya sukai.

Saya sangat suka pergi ke suatu tempat yang baru, bertemu dengan sesuatu yang baru, bereksplorasi dengan hal-hal yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Ada jutaan pertanyaan di kepala saya jika menemui hal baru. Sering saya kecewa karena banyak sekali pertanyaan-pertanyaan saya tidak terjawab. Bahkan ketika saya menanyakannya pada orangtua atau guru di sekolah. Berbagai jawaban saya dapatkan. Namun jawaban “emang begitu dari sananya,” adalah jawaban yang paling gampang terlontar, karena tak bikin pusing.

Kemalasan saya ini berlanjut hingga dewasa, sampai sekarang pun saya malas untuk bekerja.
Setelah lulus SMA, saya masuk ke Universitas hanya karena terdorong suatu harapan baru, bahwa semua pelajaran yang membosankan sewaktu di bangku sekolah tidak akan terulang. Seperti yang dapat diduga, saya keluar sebelum menggembol gelar sarjana. Saat itu, dari Surabaya saya pindah ke Jakarta dan ingin bekerja sekeras mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar kemudian saya tidak usah bekerja lagi. Yang terpikir saat itu adalah peluang apa yang ada dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan rupiah.

Pagi sampai malam saya bekerja, saya tahu hati saya menangis dan menjerit, tetapi saya tidak peduli. Yang ada dalam kepala ini hanya sebuah pepatah yang saya yakin semua orang di negeri ini hafal luar kepala, yaitu “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”

Semangat ’45 bertahan pada tahun pertama. Tahun selanjutnya, seperti kebanyakan orang yang telah lama bekerja di sebuah perusahaan, terbangun karena bunyi jam weker pukul 6 pagi, mata yang berat, badan terasa pegal. Otak kita pun mulai berperang antara satu bagian dan lainnya, yang satu berkata, “Ayo bangun, sudah pagi, gerakkan badanmu supaya sehat.” Yang satunya dengan lembut membujuk, “Tidurlah 5 menit lagi, kau kerja terlalu berat, tubuhmu perlu istirahat.” Setelah itu saya bangun dengan mata yang terbuka setengah dan menyeruput kopi sebagai sarapan sekaligus dopping. Tidak lama kemudian teringat akan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dan janji yang harus ditepati. Hhh … inikah hidup? Seperti inikah hidup yang harus setiap orang jalani? Apakah ada kehidupan yang lebih baik?

Setiap kali ada dorongan kuat untuk meninggalkan semua ini dan menjalani hidup sesuai keinginan, setiap kali itu pula timbul perasaan sayang jika semua yang telah dirintis harus ditinggalkan. Saldo tabungan yang meninggi setiap bulannya benar-benar telah menjadi bola besi yang terpasung di kaki ini.

Saya tahu gaya hidup saya sangat kacau, dan mengorbankan banyak hal termasuk kesehatan dan yang paling parah adalah mengorbankan kedamaian pikiran. Padahal jika dipikir-pikir, apapun yang kita lakukan dalam mencari kesenangan atau mengumpulkan materi tujuannya adalah untuk mendapatkan kedamaian pikiran. Namun pada saat itu saya seolah-olah tidak sanggup untuk melepaskan, ada sisi lain dari dalam diri yang berkata, “Korbankan sebentar, nanti kau akan bahagia selamanya.”

Saya yakin banyak dari kita yang mengalami yang saya alami, merasa bosan dengan rutinitas seperti robot. Kita melakukan hal yang sama setiap harinya. Hidup terasa tanpa makna, tanpa sesuatu yang benar-benar memuaskan jiwa. Jikapun kita meminta cuti untuk liburan dan refreshing ke suatu tempat yang baru, itu hanya sekedar kebutuhan fisik dan pikiran sesaat. Dan yang menarik, setelah selesai liburan, muncul kemalasan seperti halnya anak kecil yang esok harinya akan masuk sekolah setelah libur panjang.

Nasib baik mendatangi saya, apa yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun hilang dalam hitungan bulan, saya tidak akan membahas hal itu, itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah pelajaran yang mencerahkan diri saya setelah peristiwa itu.

Pada awalnya memang sangatlah berat, jendela masa depan terasa sudah tertutup rapat. Saya seolah-olah merasakan perasaan para miliarder yang pada awal krisis moneter 1997 tiba-tiba menjadi miskin sekali, bahkan lebih miskin dari pengemis di jalan karena banyaknya utang yang ditanggung. Dalam dunia yang serba tidak pasti ini, apapun dapat terjadi.

Kesibukan yang sebelumnya tiada henti berganti dengan hari-hari yang saya habiskan dengan merenung dan merenung. Handphone yang sebelumnya berdering setiap beberapa menit kini hening. Namun dalam perenungan itu, saya mendapat begitu banyak inspirasi, pencerahan. Saat seperti inilah yang mungkin disebut moment “Aha!” oleh banyak penyair, pencipta lagu, serta ilmuwan seperti Einstein dalam menemukan rumus spektakulernya, E=MC².

Saya tersadar bahwa apa yang manusia kumpulkan bertahun-tahun dapat hilang dalam hitungan detik. Apa yang kita pelajari dan kita diyakini sebelumnya dapat menjadi salah total. Dan yang lebih penting lagi, saya belajar bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Ya, saya ingin memastikan dengan mengulangi lagi bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita ingin bahagia atau tidak itu pilihan kita. Terus terang, memang tidak gampang menerima konsep ini. Saya dapat mengerti jika banyak pembaca yang tidak setuju. Kita telah terhipnosis oleh lingkungan kita sehingga kita merekatkan kebahagiaan dengan sesuatu di luar. Seperti saya akan bahagia jika mempunyai deposito yang bunganya dapat menghidupi diri saya atau bahagia jika sudah mendapatkan pasangan hidup.

Kita sering mengacaukan kebahagiaan dengan kesenangan duniawi. Kesenangan luar inilah yang kita kejar, bukan kebahagiaan yang di dalam. Terus terang kita sudah kehilangan arah, Socrates pada 25 abad yang lalu telah mengatakan, “Gnothi seauton (Kenali dirimu),” sebuah kata yang sederhana, tetapi maknanya sangat mendalam. Setahu saya kalimat ini juga dikatakan orang-orang suci yang datang ke dunia ini. Apa yang ingin dikatakan Socrates adalah: kita terlalu berorientasi ke luar.
Kita lupa menengok ke dalam, kita tidak menyadari bahwa setiap orang mempunyai misi individu. Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, apa misi kita dalam hidup ini? Pastinya, kita bukan hidup untuk sekedar lahir, menikah, meneruskan keturunan, dan pulang kembali.

Mengenal diri sendiri merupakan kunci penting untuk membuka pintu untuk melangkah dalam hidup ini. Dengan bertanya pada hati kita misi hidup ini dan apa yang benar-benar kita inginkan untuk meraihnya, tujuan kita akan jelas. Dari sini kita dapat hidup dan bekerja karena pilihan, bukan peluang. Memang sulit awalnya untuk mengetahui misi kita, karena pikiran kita terbiasa berfokus keluar, bukan ke dalam. Namun mungkin kita dapat memulai dengan bertanya pada diri sendiri, pekerjaan apa yang senang kita lakukan walau tanpa dibayar sekalipun.

Jika kita sudah dapat menjawabnya, sebenarnya kita sudah mulai mengenal diri sendiri. Dan langkah selanjutnya adalah melakukan keinginan hati, atau yang sering kita dengar “ikuti kata hatimu,” lakukan apa yang hati katakan, kerjakan dengan sepenuh hati, kepuasan pun akan datang.

Paolo Coelho, dalam buku masterpiece-nya, The Alchemist, menulis dengan indahnya, “Di mana hatimu berada di sanalah hartamu terletak.” Jika seseorang bekerja sesuai panggilan hatinya, sebenarnya orang tersebut sudah dapat dikatakan tidak bekerja, karena dia hanya melakukan apa yang disukainya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk bekerja hanya pada panggilan hati saya.

Saya sangat suka berbagi pengetahuan, dan saya senang sekali jika dapat memberikan sesuatu yang saya pikir berguna untuk seseorang. Itulah yang membuat hati saya bahagia, tetapi apakah saya dapat hidup hanya dengan melakukan itu? Terus terang pada awalnya banyak keraguan dan ketakutan. Keraguan mengingat banyaknya tawaran menggiurkan datang kepada saya untuk bekerja dan tinggal di Jakarta dengan gaji awal yang dapat dikatakan cukup tinggi. Ini makin memperbesar ketakutan apakah saya dapat bertahan dengan berbagi?

Dunia kita ini terlalu dan selalu berfokus pada apa yang bisa kita dapatkan sebelum melakukan pekerjaan. Hukum ekonomi yang semua orang pelajari berbunyi pengeluaran sekecil-kecilnya dan pendapatan yang sebesar-besarnya. Kita lupa bahwa sebelum kita memetik hasil, kita harus menanam dulu, jika kita ingin lebih maka kita harus melakukan lebih. Inilah yang dikatakan Oprah Winfrey pada 26 tahun yang lalu sewaktu dia memulai program talk show-nya yang mendunia. Bill Gates pun merintis Microsoft dengan susah payah dalam garasi rumahnya.

Hal ini mengingatkan saya pada pidato terkenal dari mendiang John F Kenedy, “Jangan tanyakan apa yang dapat Negara berikan kepada anda, tetapi tanyakan apa yang bisa anda berikan kepada Negara.” Pelayanan apa yang dapat saya berikan untuk membuat dunia lebih baik, nilai tambah apa yang dapat saya wujudkan untuk perkembangan manusia? Inilah yang seharusnya menjadi fokus kita semua. Jika kita percaya bahwa Pencipta kita adil, seharusnya kita tidak takut untuk berbuat lebih, bukan?

Yang menarik lagi, ketika kita fokus pada hasrat dalam diri sendiri dan fokus pada apa yang dapat kita berikan, kita tidak takut dengan persaingan. Kita sadar bahwa setiap individu adalah unik. Ketika kita dapat menggali dan menemukan keunikan dalam diri lalu menggunakannya dengan fokus “memberi”, kepuasan akan bertamu dalam diri kita.

Nah, sekarang percaya kan jika saya tidak bekerja, saya hanya melakukan apa yang benar-benar saya suka. Saya suka sekali berbagi. Saat ini saya berbagi melalui tulisan di majalah Psikologi Plus. Selain dari itu, saya juga berbagi melalui pelatihan stress management dan motivasi serta berbagi dalam talkshow mingguan di Radio Duta FM di Bali.

Suatu hari saya benar-benar kebingungan sewaktu harus mengisi sebuah formulir berbahasa inggris yang harus mencantumkan pekerjaan saya. Karena tidak boleh diisi dengan jobless (penganggur). Dengan bangga saya mengisinya dengan heartworker. J

#gobindvashdev – happinessinside


Tidak ada komentar:

Posting Komentar