Sudah lama saya mengamati sekaligus bertanya-tanya tentang
fenomena “menular” yang terjadi di sekitar kita. Mungkin kata “menular” identik
dengan penyakit. Hal yang akan kita bahas kali ini bukan penyakit, tetapi lebih
ke kejadian-kejadian yang kita lihat, dengar, atau baca. Jika kita perhatikan
akhir-akhir ini, terjadinya suatu kecelakaan pesawat tidak lama disusul lagi
dengan kecelakaan pesawat lainnya. Sebuah pesawat swasta nasional mengalami
kecelakaan di Solo beberapa tahun lalu, kurang dari 2 x 24 jam, tiga kecelakaan
pesawat terjadi lagi di negeri ini. Anda mungkin masih ingat beberapa bulan
yang lalu, kecelakaan kereta api juga terjadi dalam waktu yang berdekatan.
Menariknya, kejadian yang berurutan ini tidak sekedar
berlaku pada kecelakaan. Pengambilan keputusan tentang hal-hal yang sangat
personal seperti pernikahan dan perceraian juga mempunyai efek yang menular. Pernikahan
para selebritas dengan orang asing beberapa waktu lalu dan maraknya perceraian akhir-akhir
ini mungkin menjadi contoh yang baik untuk itu. Fenomena kesurupan di Indonesia
pun terjadi secara menular pada anak-anak sekolah dasar. Dan yang sangat
menyesakkan adalah fenomena bunuh diri pada remaja atau anak-anak akhir-akhir
ini.
Mungkinkah ini semua menular? Apa ini rasional? Apa yang
menyebabkan ini semua? Mengapa ini semua dapat terjadi? Bukankah selama ini
hanya penyakit fisik yang dapat menular?
Pada awalnya, hal-hal di atas saya anggap sebagai peristiwa
kebetulan semata. Namun setelah kejadian demi kejadian berulang, pastilah ini
bukan kebetulan semata.
Dalam pencarian jawaban, saya bertemu dengan pemikir cerdas,
Malcolm Gladwell, lewat bukunya, Tipping Point. Malcolm mengambil contoh
dari penelitian yang dilakukan di Kepulauan Mikronesia, Kepulauan di Laut
Pasifik, mengenai bunuh diri pada anak-anak atau remaja usia 15-20 tahun.
Sebelum 1960, belum pernah ada kejadian bunuh diri yang
dilakukan oleh remaja di Negara tersebut. Namun setelah peristiwa bunuh diri
pertama terjadi dan di beritakan di media massa setempat, angka bunuh diri pada
remaja langsung meroket. Sebagai perbandingan, angka bunuh diri di Amerika Serikat
hingga akhir ’80-an adalah 22 dari 100.000 penduduk, sedangkan di Mikronesia
angka bunuh diri sebesar 160 jiwa dari 100.000 penduduk. Ini berarti tujuh kali
lipat, sebuah angka yang luar biasa tinggi.
Menariknya, mereka melakukan bunuh diri dengan cara yang
hampir serupa. Para remaja di Mikronesia ini selalu mencari tempat yang sepi
lalu mengambil tali dan membuat simpul jerat, tetapi mereka tidak menggantung
diri seperti umumnya di Indonesia. Mereka mengikatkan tambang ke sebuah dahan
rendah atau daun pintu kemudian merebahkan tubuh ke depan sampai tambang itu
menjerat leher dengan ketat dan memutus aliran darah ke otak.
Yang lebih menyedihkan dari epidemik atau kejadian menular,
menurut antropolog Donald Rubinstain, yaitu semakin banyaknya yang melakukan
bunuh diri. Sebelumnya hanya remaja tetapi berkembang menjadi anak-anak berusia
8-9 tahun, bahkan akhir-akhir ini ditemukan mereka yang berusia 5-6 tahun. Ini sangat
memprihatinkan, apalagi sejumlah anak-anak yang selamat dari percobaan bunuh
diri, ketika ditanyai, beralasan hanya
coba-coba. Mereka melakukannya karena melihat atau sering mendengar anak-anak
yang melakukan bunuh diri.
Peranan Media
Seorang pelopor dalam bidang penelitian bunuh diri, David
Philips, dari University of California di San Diego telah melakukan penelitian
dengan mengkiliping berita bunuh diri yang dimuat di media massa. Profesor
tersebut menemukan bahwa ada korelasi positif antara pemberitaan media massa
tentang bunuh diri dengan tingkat bunuh diri di daerah penyebaran media massa tersebut.
Semakin besar jangkauan atau wilayah peredarannya maka wilayah orang yang bunuh
diri pun semakin luas. Misalnya pada saat Marilyn Monroe memilih untuk bunuh
diri, pada bulan tersebut angka bunuh diri di Amerika Serikat meningkat sampai 12%.
Jika seseorang melakukan bunuh diri dengan menabrakkan
mobilnya ke pohon, dan diberitakan di headline media massa suatu daerah,
dalam sepuluh hari ke depan angka kecelakaan meningkat tajam dengan kasus
serupa. Angka kecelakaan menurun menjadi normal setelah sepuluh hari. Berita di
media seolah-olah memberikan sebuah inspirasi pada pembacanya. Inspirasi cara
untuk menyelesaikan masalah, memberikan sebuah pembenaran bahwa suatu cara
boleh ditempuh.
Menurut Philips, cerita tentang bunuh diri adalah semacam
iklan alami tentang salah satu cara memecahkan masalah. Selain media massa,
lingkungan sekitar kita juga sangat mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Misalnya,
kita menerobos lampu merah karena melihat yang lain melakukan hal yang sama. Atau
yang menarik lagi misalnya, jika anda berada di antrean lampu merah dan mobil
anda di urutan ke empat atau kelima, lalu muncul seorang pengemis atau pengamen
dan mendekati mobil yang ada diurutan pertama. Jika pengemudi tersebut memberi sejumlah
uang recehan kepada pengemis tersebut, kemungkinan besar pengemudi yang
diurutan kedua juga akan melakukan hal serupa.
Pengemis ini akan mendapat kemungkinan yang lebih besar lagi
di mobil urutan ketiga dan seterusnya. Saya tidak tahu apa ini namanya. Namun,
jika saya melihat hal itu terjadi di depan saya, saya atau paling tidak teman
yang duduk di sebelah saya juga akan ikut-ikutan. Kita semua seolah-olah
mendapat izin untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain.
Efek penularan ini bukan sesuatu yang rasional atau terjadi
secara sadar. Penyebarannya tidak bersifat persuasive, tetapi lebih samar
daripada itu.
Kembali ke maraknya bunuh diri anak yang terkadi di sekitar
kita sekarang ini, kita tahu bahwa ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi
seorang anak untuk melakukan tindakan nekat tersebut. Untuk itu, mungkin tips
di bawah ini dapat dilakukan untuk menghindari bunuh diri terjadi pada buah
hati kita.
- Saringlah Informasi
yang Masuk
Menghindarkan anak dari tontonan berita-berita
kriminal yang marak di televisi adalah langkah yang baik agar anak berpandangan
baik tentang dunia ini. Selain itu menghindari berlangganan majalah, tabloid,
atau Koran yang memuat banyak berita-berita gosip atau kekerasan adalah
tindakan bijak lainnya.
- Pilih Mainan yang
Digunakan
Temani dan arahkan anak anda untuk
memilih permainan yang digemari. Akan baik sekali jika permainan yang anda beli
untuk si kecil adalah permainan yang mengasah kemampuan sensorik dan
motoriknya.
Jika membeli DVD untuk video game, hindarkan dari permainan yang
mengandung unsur kekerasan.
- Belajarlah Mendengar
Banyak masalah anak yang berasal
dari kurangnya komunikasi dari orang tua kepada buah hatinya. Komunikasi merupakan
kemampuan yang paling penting dalam dunia ini. Kita menghabiskan sebagian
hidup kita untuk belajar membaca dan menulis. Kita juga menghabiskan waktu
untuk belajar berbicara yang baik, tetapi bagaimana dengan mendengarkan?
Jika kita ingin berinteraksi secara efektif dan mengerti
kebutuhan anak secara utuh, kita perlu mengerti apa yang diinginkan si anak
secara detail dan mendalam. Untuk ini, kita harus mendengarkan secara empati,
melihat dengan kacamata si kecil.
Kebanyakan dari kita merasa lebih pintar dan lebih tahu apa
yang dibutuhkan anak sehingga kita jarang mau mendengar mereka secara mendalam.
Kita sering sekali memotong perkataan mereka dan memberikan contoh masa lalu
kita.
Coba kita tengok sebentar, ketika seorang anak ingin meminta
pengertian dari ayahnya mengenai keengganannya untuk melanjutkan sekolah, hampir
semua ayah tak mencoba memahami alasannya. Alih-alih sang ayah langsung
menimpali dengan menceritakan bahwa dirinya bisa sukses karena dia dulu rajin
sekolah.
Ketidakpuasan anak karena tidak dimengeri akan membuat anak
menjadi pasif dalam berkomunikasi dengan orang tua. Anak akan menjawab seperlunya
dan ini akan menjadi cikal bakal tindakan-tindakan nekat sang anak, terutama
pada anak laki-laki.
Statistik menunjukkan bahwa empat dari lima orang yang bunuh
diri adalah pria. Hal ini disebabkan pria lebih sedikit berbagi, tidak boleh
menangis, dan lebih jarang berpelukan. Padahal curhat atau berbagi,
berpelukan atau menangis adalah pelepasan emosi bawah sadar yang sangat baik.
Akankah kita segera belajar untuk mendengar atau membiarkan
segala sesuatunya terlambat?
#gobindvashdev – happiness inside
Tidak ada komentar:
Posting Komentar