Minggu, 08 Maret 2015

Apa untungnya cemas

Suara pramugari terdengar lewat speaker, memberitahukan bahwa pesawat akan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Sebagian besar penumpang sudah terlelap, mengingat waktu sudah mendekati pergantian hari. Kebiasaan membaca buku dalam pesawat membuat saya dan sebagian kecil yang masih terjaga terhubung dengan kecemasan setelah mendengar alasan kembalinya pesawat yang seharusnya sudah terbang ke Bali ini disebabkan masalah teknis. Saling bertatapan beberapa kali terjadi dengan  mata-mata yang terlihat tegang, dan bibir yang terkatup rapat, sementara yang lainnya tertidur. Pada saat itu mereka yang terjaga semua panca inderanya menjadi awas layaknya polisi yang bertugas dalam keadaan siaga satu. Sedikit guncangan pesawat atau suara mesin yang menderu lebih kencang saat ini akan memercikkan kecemasan. Bukit kecemasan makin tinggi menjelang pesawat mendarat, tidak ada yang dapat dimintai keterangan apakah pesawat mendarat dengan biasa atau darurat. Dan nyeess layaknya es yang mencair, begitu pula perasaan cemas meleleh habis ketika pendaratan berlangsung mulus. Doa syukur diucapkan oleh mereka yang terjaga, yang tertidur tetap tenang dalam mimpinya. ”Seandainya saya tidur”, pikir saya, atau saya menggunakan iPod yang memaksa telinga ini tidak mendengar suara pramugari tadi maka ketakutan tidak bakalan menghampiri saya.

Kecemasan muncul karena kita membayangkan hal-hal yang menakutkan akan terjadi. Ini bukanlah sesuatu yang haram, tetapi jika mau menghitung, sebagian besar atau hampir semua kecemasan kita tidak terjadi. Semua itu buatan kita sendiri dan sering kali tidak beralasan kuat.

Contohnya cerita diatas, yang saya cemaskan adalah pesawat akan mendarat darurat. Namun, setelah ketenangan mengambil alih pikiran, yang saya cemaskan itu hampir tidak mungkin terjadi. Karena jika pesawat akan mendarat darurat, pastilah pilot akan memberi tahu semua penumpang untuk bersiap siaga. Namun, pada saat itu kecemasan sedang membuntal pikiran dengan rapat sehingga pikiran hanya menatap pada bayangan terburuk yang akan terjadi.

Jika apa yang kita cemaskan itu terjadi lalu bagaimana? Jawabannya, memang kecemasan tersebut dapat membantu kita mengatasi kejadian yang akan terjadi? Yang ada malah membuat kita lebih panik bukan? Shakespeare sang penulis Romeo and Juliet pernah menulis, “Ketakutan akan kemalangan yang akan terjadi dapat menjadikan kita lebih sengsara daripada saat tibanya kemalangan itu, yang mungkin terjadi atau tidak.”

Ketika kecemasan muncul ada banyak hal yang terpengaruh, bukan hanya pikiran, tetapi seluruh organ di tubuh. Para ahli menemukan bahwa kecemasan berlebihan memaksa kelenjar-kelenjar memproduksi beberapa hormon yang berakibat kurang baik pada pikiran dan juga pada hampir seluruh organ tubuh.

Masih segar dalam ingatan saya betapa cemasnya diri saya sewaktu terjebak kemacetan yang luar biasa pada perjalanan menuju satu bandara di Jakarta. Saat itu saya duduk di bangku belakang taksi dan menarik napas panjang berkali-kali. Gigi dan rahang mengatup erat, detak jantung terasa lebih keras dan cepat, tubuh yang bergerak kesana kemari terpacu kegelisahan yang meninggi dalam benak. Tiba-tiba saya tersadar dengan apa yang terjadi pada diri ini, kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah dengan menjadi cemas, jalanan yang saya lalui akan menjadi lancar?” Anda pasti tahu jawabannya. “Kemudian jika begitu kenapa harus cemas?” Saya terus bertanya dalam diri, dan ada jawaban dari dalam, “Ya kan nanti jika terlambat, kan rugi, tiket sudah terbeli.” Kemudian bagian diri saya yang lain menjawab, “Lalu jika cemas memang tiketnya dapat diuangkan?” Dan seterusnya. Bagian diri saya yang cemas memberikan alasan, dan bagian kesadaran yang lain memberikan jawaban yang berlawanan.

Sebuah ayat di Kitab Matius mengungkapkan hal yang sama, dimana Yesus bersabda, “Siapakah diantara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”

Menciptakan Kecemasan

Salah satu yang menyabot kebahagiaan kita adalah kekhawatiran yang kita ciptakan sendiri. Seorang sahabat saya bertanya, “Bagaimana tidak khawatir jika semuanya serba belum pasti?”

Dari awal sampai berakhirnya penciptaan alam ini, ketidakpastian adalah sebuah kepastian, tetapi kekhawatiran kita adalah sebuah pilihan, bukan? Kita sudah terbiasa memilihnya sehingga kekhawatiran ini sering tumbuh dan menjadikan seolah-olah kita tidak mempunyai pilihan lain. Setiap hari kita mengkhawatirkan hari esok. Lalu persis hari ini, hari ini adalah hari esok yang kita khawatirkan kemarin, bukan? Selain percaya penuh bahwa alam memberikan yang terbaik serta berserah total pada Pencipta, alangkah indahnya jika kita bisa mengajak puasa akar perilaku yang menyebabkan kita mempunyai kebiasaan cemas dan khawatir.

Salah satunya adalah kemampuan mengarahkan indra kita. Dalam kepungan media yang sedahsyat saat ini, kemampuan ini menjadi sebuah senjata yang wajib kita miliki. Informasi yang lalu lalang, liar tak terkendali membuat kita mudah sekali untuk menonton, mendengar, serta membicarakan sesuatu yang awalnya terasa menyenangkan, tetapi akhirnya memberikan rasa khawatir pada diri sendiri. Berita yang kita terima, baik dari seorang sahabat atau media, belum tentu benar. Namun, itu cenderung kita percayai, apalagi yang sudah menjadi gunjinganan publik.

Beberapa tahun lalu, saya mengikuti sebuah reality show di salah satu televisi swasta, 15 orang yang berkarakter berbeda ditempatkan dalam sebuah rumah yang tidak dihiasi TV, radio, buku, jam, atau hiburan apapun. Kami pun tidak boleh berkomunikasi dengan dunia luar. Di rumah itu, ditempatkan sejumlah kamera yang memantau kami selama 24 jam. Dan setiap hari kegiatan kami disiarkan di TV selama satu jam. Setelah terekstradisi dari rumah petir (Penghuni Terakhir), saya mencoba menjelajahi forum-forum di dunia maya, yang membicarakan atau menggosipkan tentang kami. Hasilnya sangatlah mengejutkan, sebagian besar opini yang terbentuk ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya ketahui di dalam rumah tersebut. Mereka saling berdebat, membela satu diantara kami, atau yakin dengan pemikirannya. Ketika membacanya saya tersenyum dan diwaktu yang sama saya mendapat banyak pelajaran. Pelajaran bahwa apa yang kita pikirkan terhadap situasi yang terjadi di luar, seringkali tidak tepat. Ini mirip halnya dengan begitu banyak sahabat yang memperbincangkan politik atau menebak-nebak apa yang terjadi di balik perceraian selebriti. Dalam beberapa kesempatan, saya berjumpa dengan sahabat-sahabat lama yang sudah menjadi public figure dan sempat diterpa gossip. Setelah berbincang cukup lama, saya berkesimpulan bahwa yang dipersepsikan publik berbeda jauh dari kenyataan.

Berusaha untuk tidak menggunjingkan hal-hal di luar yang kita tidak tahu tentang orang lain adalah perbuatan bijak. Membicarakan tentang perceraian membuat ketakutan menikah menjadi besar. mendengar banyak pertikaian politik menjadikan kita memihak yang satu dan membenci yang lainnya. Berita bunuh diri memberi alternatif bunuh diri bagi pikiran bawah sadar jika terimpit jalan buntu. Belum lagi seringnya berita kriminalitas, kecelakaan atau tragedi yang bertebaran, semua membawa ketakutan. Pada akhirnya, ketakutan yang bertumpuk akan menjatuhkan kita ke jurang kekhawatiran dan kecemasan.

Lho, bukannya berita seperti pembunuhan, pencurian, atau kecelakaan pesawat, apalagi bencana alam, adalah sesuatu yang benar dan mengetahuinya akan membuat kita lebih berhati-hati? Mungkin pikiran ini tanpa permisi akan muncul ketika membaca paragraph di atas. Ya, mungkin sekali berita-berita itu benar dan sikap hati-hati adalah baik, tetapi cobalah sadari apa yang kebanyakan terjadi setelah kita mengetahuinya? Kita mulai penasaran dan mulai mencari tahu lebih dalam lagi dan lagi, sampai-sampai kita mendiskusikan, menganalisis atau bahkan memperdebatkannya dengan orang lain. Dan hasilnya adalah kekhawatiran yang berlebih. Ambilah contoh kecelakaan pesawat yang terjadi secara beruntun dalam beberapa waktu terakhir ini. Berita-berita ini menelurkan ketakutan untuk bepergian dengan pesawat, walaupun secara statistic kasus kecelakaan pesawat jauh lebih kecil dibanding dengan moda transportasi apa pun. Tengoklah berita ekonomi, banyak pengamat yang meramalkan akan terjadi badai krisis pada 2009, bayangan buruk hadir di setiap kepala manusia. Akan tetapi lihatlah, bukankah kenyataannya tidak seburuk yang dibayangkan? Sama halnya dengan politik, atau berita ramalan yang terlalu blow up, seperti sesuai tanggalan Maya, dunia akan berakhir pada bulan Oktober 2012. Untuk membuktikannya, Cobalah sekali-kali menghitung persentase dari ramalan-ramalan yang beredar. Anda akan terkejut melihat hasilnya.

Mengetahui munculnya banyak kerugian dari kecemasan adalah sebuah awal yang baik. Membiarkan diri untuk tidak berhubungan terlalu intim dengan sumber-sumber kekhawatiran adalah langkah lanjutan yang tepat. Di atas semua itu, diperlukan adanya keyakinan, sebuah keyakinan penuh bahwa semua yang terjadi di bumi yang kecil ini adalah yang terbaik. Kecemasan hanya menandakan ketidakpercayaan pada Pencipta dan kekuasaan-Nya.

Sewaktu menulis artikel ini, alam sedang ingin bermain dengan saya. Semua data yang termuat di laptop semata wayang saya terhapus. Seorang sahabat yang mengetahuinya berkata, “jangan khawatir, walau kita belum tahu, pasti ada maksud baik di balik musibah ini.” Lalu dia menutup kalimatnya dengan mengutip sebuah lirik lagu, “segala sesuatu itu indah pada waktunya”. Dengan tersenyum dalam hati saya menjawab, “Segala waktu itu indah pada sesuatu-Nya.”


#gobindvashdev – happiness inside

Tidak ada komentar:

Posting Komentar