Suara pramugari terdengar lewat speaker, memberitahukan
bahwa pesawat akan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Sebagian besar
penumpang sudah terlelap, mengingat waktu sudah mendekati pergantian hari. Kebiasaan
membaca buku dalam pesawat membuat saya dan sebagian kecil yang masih terjaga
terhubung dengan kecemasan setelah mendengar alasan kembalinya pesawat yang
seharusnya sudah terbang ke Bali ini disebabkan masalah teknis. Saling bertatapan
beberapa kali terjadi dengan mata-mata
yang terlihat tegang, dan bibir yang terkatup rapat, sementara yang lainnya
tertidur. Pada saat itu mereka yang terjaga semua panca inderanya menjadi awas
layaknya polisi yang bertugas dalam keadaan siaga satu. Sedikit guncangan
pesawat atau suara mesin yang menderu lebih kencang saat ini akan memercikkan
kecemasan. Bukit kecemasan makin tinggi menjelang pesawat mendarat, tidak ada
yang dapat dimintai keterangan apakah pesawat mendarat dengan biasa atau
darurat. Dan nyeess layaknya es yang mencair, begitu pula perasaan cemas
meleleh habis ketika pendaratan berlangsung mulus. Doa syukur diucapkan oleh
mereka yang terjaga, yang tertidur tetap tenang dalam mimpinya. ”Seandainya
saya tidur”, pikir saya, atau saya menggunakan iPod yang memaksa telinga ini
tidak mendengar suara pramugari tadi maka ketakutan tidak bakalan menghampiri
saya.
Kecemasan muncul karena kita membayangkan hal-hal yang
menakutkan akan terjadi. Ini bukanlah sesuatu yang haram, tetapi jika mau
menghitung, sebagian besar atau hampir semua kecemasan kita tidak terjadi. Semua
itu buatan kita sendiri dan sering kali tidak beralasan kuat.
Contohnya cerita diatas, yang saya cemaskan adalah pesawat
akan mendarat darurat. Namun, setelah ketenangan mengambil alih pikiran, yang
saya cemaskan itu hampir tidak mungkin terjadi. Karena jika pesawat akan
mendarat darurat, pastilah pilot akan memberi tahu semua penumpang untuk
bersiap siaga. Namun, pada saat itu kecemasan sedang membuntal pikiran dengan
rapat sehingga pikiran hanya menatap pada bayangan terburuk yang akan terjadi.
Jika apa yang kita cemaskan itu terjadi lalu bagaimana? Jawabannya,
memang kecemasan tersebut dapat membantu kita mengatasi kejadian yang akan
terjadi? Yang ada malah membuat kita lebih panik bukan? Shakespeare sang
penulis Romeo and Juliet pernah menulis, “Ketakutan akan kemalangan
yang akan terjadi dapat menjadikan kita lebih sengsara daripada saat tibanya
kemalangan itu, yang mungkin terjadi atau tidak.”
Ketika kecemasan muncul ada banyak hal yang terpengaruh,
bukan hanya pikiran, tetapi seluruh organ di tubuh. Para ahli menemukan bahwa
kecemasan berlebihan memaksa kelenjar-kelenjar memproduksi beberapa hormon yang
berakibat kurang baik pada pikiran dan juga pada hampir seluruh organ tubuh.
Masih segar dalam ingatan saya betapa cemasnya diri saya
sewaktu terjebak kemacetan yang luar biasa pada perjalanan menuju satu bandara
di Jakarta. Saat itu saya duduk di bangku belakang taksi dan menarik napas
panjang berkali-kali. Gigi dan rahang mengatup erat, detak jantung terasa lebih
keras dan cepat, tubuh yang bergerak kesana kemari terpacu kegelisahan yang
meninggi dalam benak. Tiba-tiba saya tersadar dengan apa yang terjadi pada diri
ini, kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah dengan menjadi cemas,
jalanan yang saya lalui akan menjadi lancar?” Anda pasti tahu jawabannya. “Kemudian
jika begitu kenapa harus cemas?” Saya terus bertanya dalam diri, dan ada
jawaban dari dalam, “Ya kan nanti jika terlambat, kan rugi, tiket sudah
terbeli.” Kemudian bagian diri saya yang lain menjawab, “Lalu jika cemas memang
tiketnya dapat diuangkan?” Dan seterusnya. Bagian diri saya yang cemas
memberikan alasan, dan bagian kesadaran yang lain memberikan jawaban yang
berlawanan.
Sebuah ayat di Kitab Matius mengungkapkan hal yang sama,
dimana Yesus bersabda, “Siapakah diantara kamu yang karena kekhawatirannya
dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”
Menciptakan Kecemasan
Salah satu yang menyabot kebahagiaan kita adalah
kekhawatiran yang kita ciptakan sendiri. Seorang sahabat saya bertanya, “Bagaimana
tidak khawatir jika semuanya serba belum pasti?”
Dari awal sampai berakhirnya penciptaan alam ini,
ketidakpastian adalah sebuah kepastian, tetapi kekhawatiran kita adalah sebuah
pilihan, bukan? Kita sudah terbiasa memilihnya sehingga kekhawatiran ini
sering tumbuh dan menjadikan seolah-olah kita tidak mempunyai pilihan lain. Setiap
hari kita mengkhawatirkan hari esok. Lalu persis hari ini, hari ini adalah hari
esok yang kita khawatirkan kemarin, bukan? Selain percaya penuh bahwa alam
memberikan yang terbaik serta berserah total pada Pencipta, alangkah indahnya
jika kita bisa mengajak puasa akar perilaku yang menyebabkan kita mempunyai
kebiasaan cemas dan khawatir.
Salah satunya adalah kemampuan mengarahkan indra kita. Dalam
kepungan media yang sedahsyat saat ini, kemampuan ini menjadi sebuah senjata
yang wajib kita miliki. Informasi yang lalu lalang, liar tak terkendali membuat
kita mudah sekali untuk menonton, mendengar, serta membicarakan sesuatu yang
awalnya terasa menyenangkan, tetapi akhirnya memberikan rasa khawatir pada diri
sendiri. Berita yang kita terima, baik dari seorang sahabat atau media, belum
tentu benar. Namun, itu cenderung kita percayai, apalagi yang sudah menjadi
gunjinganan publik.
Beberapa tahun lalu, saya mengikuti sebuah reality show di
salah satu televisi swasta, 15 orang yang berkarakter berbeda ditempatkan dalam
sebuah rumah yang tidak dihiasi TV, radio, buku, jam, atau hiburan apapun. Kami
pun tidak boleh berkomunikasi dengan dunia luar. Di rumah itu, ditempatkan
sejumlah kamera yang memantau kami selama 24 jam. Dan setiap hari kegiatan kami
disiarkan di TV selama satu jam. Setelah terekstradisi dari rumah petir
(Penghuni Terakhir), saya mencoba menjelajahi forum-forum di dunia maya, yang
membicarakan atau menggosipkan tentang kami. Hasilnya sangatlah mengejutkan,
sebagian besar opini yang terbentuk ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya
ketahui di dalam rumah tersebut. Mereka saling berdebat, membela satu diantara
kami, atau yakin dengan pemikirannya. Ketika membacanya saya tersenyum dan diwaktu
yang sama saya mendapat banyak pelajaran. Pelajaran bahwa apa yang kita pikirkan
terhadap situasi yang terjadi di luar, seringkali tidak tepat. Ini mirip halnya
dengan begitu banyak sahabat yang memperbincangkan politik atau menebak-nebak
apa yang terjadi di balik perceraian selebriti. Dalam beberapa kesempatan, saya
berjumpa dengan sahabat-sahabat lama yang sudah menjadi public figure
dan sempat diterpa gossip. Setelah berbincang cukup lama, saya berkesimpulan
bahwa yang dipersepsikan publik berbeda jauh dari kenyataan.
Berusaha untuk tidak menggunjingkan hal-hal di luar yang
kita tidak tahu tentang orang lain adalah perbuatan bijak. Membicarakan tentang
perceraian membuat ketakutan menikah menjadi besar. mendengar banyak pertikaian
politik menjadikan kita memihak yang satu dan membenci yang lainnya. Berita bunuh
diri memberi alternatif bunuh diri bagi pikiran bawah sadar jika terimpit jalan
buntu. Belum lagi seringnya berita kriminalitas, kecelakaan atau tragedi yang
bertebaran, semua membawa ketakutan. Pada akhirnya, ketakutan yang bertumpuk
akan menjatuhkan kita ke jurang kekhawatiran dan kecemasan.
Lho, bukannya berita seperti pembunuhan, pencurian, atau
kecelakaan pesawat, apalagi bencana alam, adalah sesuatu yang benar dan
mengetahuinya akan membuat kita lebih berhati-hati? Mungkin pikiran ini tanpa
permisi akan muncul ketika membaca paragraph di atas. Ya, mungkin sekali
berita-berita itu benar dan sikap hati-hati adalah baik, tetapi cobalah sadari
apa yang kebanyakan terjadi setelah kita mengetahuinya? Kita mulai penasaran
dan mulai mencari tahu lebih dalam lagi dan lagi, sampai-sampai kita
mendiskusikan, menganalisis atau bahkan memperdebatkannya dengan orang lain. Dan
hasilnya adalah kekhawatiran yang berlebih. Ambilah contoh kecelakaan pesawat
yang terjadi secara beruntun dalam beberapa waktu terakhir ini. Berita-berita
ini menelurkan ketakutan untuk bepergian dengan pesawat, walaupun secara statistic
kasus kecelakaan pesawat jauh lebih kecil dibanding dengan moda transportasi
apa pun. Tengoklah berita ekonomi, banyak pengamat yang meramalkan akan terjadi
badai krisis pada 2009, bayangan buruk hadir di setiap kepala manusia. Akan tetapi
lihatlah, bukankah kenyataannya tidak seburuk yang dibayangkan? Sama halnya dengan
politik, atau berita ramalan yang terlalu blow up, seperti sesuai
tanggalan Maya, dunia akan berakhir pada bulan Oktober 2012. Untuk membuktikannya,
Cobalah sekali-kali menghitung persentase dari ramalan-ramalan yang beredar.
Anda akan terkejut melihat hasilnya.
Mengetahui munculnya banyak kerugian dari kecemasan adalah
sebuah awal yang baik. Membiarkan diri untuk tidak berhubungan terlalu intim
dengan sumber-sumber kekhawatiran adalah langkah lanjutan yang tepat. Di atas
semua itu, diperlukan adanya keyakinan, sebuah keyakinan penuh bahwa semua yang
terjadi di bumi yang kecil ini adalah yang terbaik. Kecemasan hanya menandakan
ketidakpercayaan pada Pencipta dan kekuasaan-Nya.
Sewaktu menulis artikel ini, alam sedang ingin bermain
dengan saya. Semua data yang termuat di laptop semata wayang saya terhapus. Seorang
sahabat yang mengetahuinya berkata, “jangan khawatir, walau kita belum tahu,
pasti ada maksud baik di balik musibah ini.” Lalu dia menutup kalimatnya dengan
mengutip sebuah lirik lagu, “segala sesuatu itu indah pada waktunya”. Dengan tersenyum
dalam hati saya menjawab, “Segala waktu itu indah pada sesuatu-Nya.”
#gobindvashdev – happiness inside
Tidak ada komentar:
Posting Komentar